Welcome Myspace Comments

Dengan ini kuciptakan sebuah persembahan... Semoga kalian suka... Cintai Budaya Membaca

Jumat, 03 September 2010

Cerita Bersama Sahabatku


”Wah kereeen...cantik banget El?” sambut En, sahabat baruku di sebuah SMK Islam. Dia sangat kaget melihatku berjilbab. MOS kemarin, ia tak mendapatiku memakai jilbab, karena aku bukanlah siswi yang berasal dari SMP khusus Islam seperti dia.
Ia tersenyum berdiri di depan pintu kelas pertama kami. Aku pun membalasnya dengan senyuman terindahku, meski kutahu senyumannya lebih indah dariku. Dia juga sangat cantik dengan jilbab barunya, meski aku tak pertama kali melihatnya berjilbab. Inilah pelajaran pertama darinya. Ia tak ragu untuk memuji seseorang, meski hal itu belum tentu indah atau baik di mata orang lain. En, seorang gadis imut dan cerewet. Ia tahu bagaimana bisa menyenangkan orang lain. Itulah mengapa aku sangat terhibur dengannya.
”Wuih...tulisanmu bagus El, lihat nih tulisanku? Amburadul ! hehehe.” Ia kemudian menunjukkan tulisannya yang kurasa memang tidak rapi. ”Bagus En !” Jawabku bohong, sedikit membuatnya senang.
Kami duduk sebangku, paling depan dan tepat sekali di depan meja guru. Bukan aku yang memilihnya, tentu saja itu pilihan En. Seminggu yang lalu, ketika pertama kali MOS, En duduk dengan seorang teman lain bernama Yani. Namun ternyata Yani memilih teman lain untuk sebangku dengannya. Sang kakak OSIS pun memilihku untuk duduk mendampingi En. Senyum ramah En menyambutku. Perasaan yang awalnya membuatku ragu, kini sangat menyukainya.
”Sini El, kamu duduk sebelah kiriku yah,” katanya. ”Iya En, makasih.” Jawabku tersenyum lebar.
***
”El, aku ngantuk !” Bukunya disodorkan ke arahku, ia menulisnya di halaman paling belakang. Ia mengajakku ’SMS’an dengan bukunya. Meski awalnya terlihat aneh, tapi kami akhirnya membudayakan hal ini setiap hari, apalagi jika benar-benar malas mengikuti pelajaran.
”Eh, ini sedang pelajaran, usil banget sich surat-suratan begini?” Aku menyodorkan kembali pada En, setelah aku selesai menulis balasannya.
”Aku boring banget El, gurunya datar-datar aja, gak menarik”. Tulisnya lagi. Salah satu tangannya menyangga kepala yang sepertinya sudah tak kuat untuk tegak.
”Dasarrr !” balasku.
Perlahan, dia pun berjalan ke bangku kosong paling belakang (dan pura-pura membawa buku), yang dilakukannya adalah tidurrrr...... Oh...no...
Aku ikut mengahampirinya, sepertinya aku juga mulai tak menyukai cara guruku itu, bikin nguap terus (daripada aku menguap di hadapannya ?)
Dengan berjalan pelan, aku mendekati En di bangku belakang.
”Sssstt... bangun En, bangun,” bisikku. Tanganku menggoyang-goyangkan bahunya. Tapi ia tetap cuek, ”Ufh...aku ngantuk El, jawabnya lemas. Entah pikiran darimana? Aku pun mengikutinya, menyandarkan kepalaku semeja dengan En. Sejam berjalan, tapi tak ada reaksi dari guruku untuk memarahi atau membagunkan kami. (Guruku kelewat baik... ).
”Tet...tet...” Bunyi tanda ganti pelajaran. Aku dan En terbangun, kami saling pandang dan kemudian tersenyum. Mata kami sama-sama merah.
”El, ayo ke toilet.” Ajak En mengulurkan tangannya. Aku pun meraih tangannya, kami berjalan pelan keluar kelas sebelum guru berikutnya datang. Bukan toilet yang dituju, tapi toilet guru.
”Waahh, nih anak ya?” pikirku dalam hati.
***
”El, sahabat kebanggaanmu sedang menangis tuh di tangga.” Kata Yani mengagetkanku. Kenapa ia tiba-tiba berdiri di dekat aku duduk, ia bersama kedua teman (teman sekelasku juga), dengan gaya anak gank (atau gang buntu kali ya?) seolah sedang menghakimiku. Aku memalingkan fikiranku ke En, membayangkan ia sedang menangis di tangga sekolah.
Yani kembali menambahkan, sebelum aku bertanya, dua temannya hanya diam (macam bodyguard gitu). ”Salah sendiri sok pintar, sok hebat. Emang kalau dia pinter, gak mau berteman dengan kita yang bodoh? Kamu juga, jangan ikut-ikutan dia. Sok gak mau berteman dengan kita karena lebih pintar.” Bentaknya keras, tangannya juga tak diam menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku kaget bukan kepalang mendengarnya. Aku pun segera berdiri dari tempat dudukku, menjawab kata-kata Yani, tentunya tidak sekeras yang Yani lakukan. Aku masih terlalu takut menghadapi mereka bertiga.
”Kalian salah paham, tak ada yang sok pinter di sini, kami juga tak ingin membeda-bedakan teman.” Namun Yani masih tetap mengomel, kedua temannya juga ikutan nyumbang omelan yang gak penting. Aku semakin risih saat mereka semakin menjelek-jelekkan En. Suaranya tak kalah menggelegar dengan suara Yani. Aku segera berlalu dan berlari menuju tangga sekolah. Percuma aku melawan, mulut mereka ada tiga. Huhuhu.
Kosong. Tak ada En di sana. Aku mencarinya di toilet guru, dan benar saja dia sedang sesenggukan menahan tangis di sana. ”En, jangan dengarjan mereka”. Hiburku, begitu aku menutup kembali pintu toilet.
”Sebenarnya apa salahku?” tangisan masih mengikutinya.
”Kamu tidak salah, semua salah paham,” aku kembali meyakinkan bahwa semua ini memang murni salah paham. Mengapa aku begitu meyakininya ?” Ya. Memang ucapan En yang terkadang super ceplas-ceplos, membuatnya tak bisa mengontrol kata-kata yang keluar darinya. Kata-kata ’pedas’ sering saja meluncur saat dirinya dalam keadaan bad mood. Tak peduli siapapun orang di hadapannya. Tentu saja hal ini disalah artikan oleh teman-teman yang agak sensitive (baca: sok kuasa) dan beginilahh akhirnya.
Ternyata tak semudah itu menghibur gadis cengeng ini (sama cengengnya denganku). Bukan membuatnya bisa tertawa dan terhibur, aku malah ikutan menangis, (tuh kan sama-sama cengeng). En baru akan berhenti menangis, saat ia telah mengeluarkan kemarahannya dengan curhat-curhat hebohnya. Heboh? Ya. Ia sambil teriak-teriak. But aku bahagia, saat bisa membuatnya kembali tersenyum.
***
”El, ikut aku!” Ajak En singkat, ia buru-buru menggandeng tanganku. ”Mau kemana En?” tanyaku heran. ”Udah...ikut saja !” Jawabnya enteng sambil terus menarikku keluar kelas. Kami menuju Ruang OSIS. Ternyata ia merekomendasikan aku sebagai Wakil OSIS. Aku terkejut, ”En kamu apaan sich?” bisikku pelan. ”tenang saja”, jawabnya.
Hanya ada anggota OSIS di Ruangan itu, dan semuanya berasal dari kelas dua alias kakak kelas. Aku dan En bergantian mengenalkan diri. Entah keberanian darimana? Aku bisa dengan sebegitu Pdnya ’mejeng’ depan para kakak kelas. Namun yang kutahu adalah aku hanya melakukan hal yang sama dengan En.
Sekian waktu berlalu, akhirnya kami resmi menjadi anggota OSIS, tentunya setelah pelantikan. Aku mulai belajar organisasi.
”Hehehe...senyum donk !” Sapa En, yang melihatku lumayan aneh (muram) dalam kelas. Ia pun tersenyum lebar, gigi gingsulnya menambah pesona kecantikannya.
”Yeyh..iya...iya...aku senyum,” jawabku. Semoga ini bukan senyuman yang terpaksa, pikirku dalam hati. Gimana mau senyum? Aku sama sekali tak tahu apa itu organisasi (yang ku tahu cuma suka ngumpul). Tapi kenapa nih hati benar-benar ingin mencobanya. Tak terasa aku tersenyum sendiri. ”Eh...eh...malah senyum-senyum sendiri !” Celetuk En. Hahaha jadi malu aku.
***
Pagi ini cerah sekali, udara sekolah terasa sejuk merasuk hidungku. Semangat baru menyambut pagiku sudah menanti. Aku segera duduk di bangku kesayanganku. Tak terasa tiga tahun sudah aku menjadi ’penghuni’ setia bangku ini bersama En.
Namun, pagi ini bukanlah pagi yang elok bagi En. Ia datang dengan mata berkaca-kaca, aku tahu ia sedih pagi ini.
”En ada apa?” tanyaku, setelah ia duduk di sampingku. Tapi lagi-lagi ia menarikku keluar kelas tiba-tiba, sama seperti dua tahun silam. Kali ini bukan ke Ruang OSIS, melainkan ke Toilet guru. Kembali ia memecahkan tangisnya sebelum ia berbicara atau sekedar curhat. Aku hanya diam, menunggunya cerita dan melihat derasnya air mata yang mengalir melewati pipinya.
”El, aku gak suka kamu berteman dengan Dia. Kamu lebig punya banyak waktu dengannya daripada denganku. Aku kecewa.” Ternyata ia sedang marah, tapi ia memelukku.
En, memang seorang yang egois. Tapi dari sifat itulah ia menunjukkan bahwa ia benar-benar tak pernah ingin kehilanganku. Awalnya aku memang menganggap ini lucu. Namun tiba-tiba aku ikut meneteskan air mata. Sejauh ini, hanya dia yang egois merebutku seperti itu. Hahaha Dasar ! Aku menangis terharu. Aku baru sadar, bahwa aku melewatkan waktu tanpanya.
”Maafkan aku”.En tersenyum melihatku. Sejenak kami berpelukan sebelum akhirnya kembali ke kelas dalam keadaan mata sembab.
Kami berdua memang sangat terkenal dengan ’sepasang sahabat’ cengeng. Setiap hal berakhir dengan tangisan. Sampai-sampai Bu guru mengatakan bahwa ini adalah hal terkonyol, tapi emang bener sich !
***
Suatu hari En pernah bertanya padaku.
”El, mengapa sampai di tahun ke-3 ini kamu masih sebangku denganku?” Pertanyaannya memang sangat biasa, tapi terasa begitu dekat denganku. Aku mmenjawabnya dengan senyum, ”Pertama, tak ada yang mau sebangku denganmu. Kedua, kamu hanya mau sebangku denganku. Hahaha...”
”Hahaha...benar. Kamu benar El. Hahaha...”

Senin, 17 Mei 2010

AYAH NAYLA


Tiba-tiba saja air mata Nayla tumpah. Gadis tujuh belas tahun itu tak sanggup lagi menahan haru yang menjalari fikirnya. Hari itu ia terpilih menjadi bintang sekolah karena prestasi-prestasinya. Puluhan ucapan selamat telah ia terima. Prestasi akademisnya sangat dibanggakan oleh teman-teman, juga guru-gurunya.
“Nay, selamat ya ! pertahankan prestasimu.” Ucap salah seorang guru.
“Nay, semoga tetap jadi yang terbaik.” Ucap guru lainnya.
Sebenarnya hal itu bukanlah hal yang pertama dialami Nayla, tapi hari itu benar-benar hari yang istimewa baginya. Karena sosok yang sangat ia banggakan, menyaksikan secara langsung, apa yang membuatnya bahagia, dan Nayla menyebutnya Ayah.
Sosok laki-laki bertubuh kecil dan berkulit kehitaman itu hanya duduk dan memperhatikan Nayla dari kejauhan. Matanya berkaca-kaca. Ia tak membiarkan butiran air matanya jatuh, walau hanya setetes. Namun di dadanya ia rasakan sesuatu yang sangat hebat. Ia ingin berteriak dan berlari menggendong putrinya itu. Sama dengan yang ia lakukan dua belas tahun silam. Ketika ia melihat putrinya berhasil menaiki sebuah sepeda. Namun kini, ia harus menahan rasa bahagianya dengan hanya memandangi kagum dari kejauhan.
Nayla sangat mengerti dan mulai menyadari, bahwa dari ayahnyalah ia bisa seperti sekarang ini. Betapa ia sangat mengingat, ketika ia belajar di masa-masa TK danSD-nya. Setiap hari ia harus menangis karena ia merasa tak pernah mau belajar, tapi ayahnya selalu mendampinginya dan terus membimbingnya belajar. Nayla yang bandel merasa kalah oleh ayahnya dan hanya bisa menuruti ayahnya untuk belajar dan tentunya sambil menangis.
Menginjak usia delapan tahun, Nayla menpunyai tugas double dari ayah tercintanya. Sebelum belajar pelajaran sekolah, ia harus bisa melancarkan bacaan-bacaan Al-Qur’an. Hal-hal seperti itu adalah hal paling menyebalkan di hari-hari Nayla. Namun, itu menjadi hal yang sangat dirindukannya kini.
Sang ayah mengerti, bahwa putrinya adalah seseorang yang tegar dan cerdas dalam memahami setiap pelajaran yang peroleh dari teladan-teladan ayahnya.
Ya. Itulah setidaknya yang selalu dilakukan oleh ayah Nayla yang tergolong orang pendiam. Ia hanya mengucap satu atau dua kalimat untuk membimbing dan mengingatkan putrinya. Selanjutnya, ia memberi kesempatan kepada Nayla untuk menerjemahkan sendiri apa yang dimaksud sang ayah. Tentunya hal ini dilakukan ketika Nayla memasuki usia tiga belas tahun. Nayla bangga memiliki ayah seperti ayahnya. Ia juga sangat bahagia punya ibu seperti ibunya. Keduanya memberi peran luar biasa dalam kehidupannya.
Nayla berjalan mendekati ayahnya. “Sayang ya Yah, hari ini ibu gak bisa datang. Betapa bahagianya ibu jika ia bisa datang dan mendampingi ayah .” Ucap Nay pada ayahnya. Harapan ibunya akan datang sangat besar.
“Iya Nak, ibu hari ini kan bekerja, ibu tidak bisa izin.” Jawab ayah Nay menatap putrinya.
Nayla tidak bisa menyalahkan ibunya. Justru ia sangat bangga pada wanita itu. Darinyalah ia mengerti arti kerja keras dan paham apa arti pengorbanan.

Sabtu, 15 Mei 2010

Ketegaran Dinda

Celah jendela kamarku terbuka. Perlahan angin sore menghanyutkanku dalam lamunan. “Hhh…betapa indahnya alam ini”. Udara segar dedaunan masuk dalam hidungku, kulihat pula garis-garis orange mega di langit. Suara-suara serangga malam mulai terdengar khas di telingaku. Semua rasa sedih dan masalah yang menimpaku perlahan kulupakan. Mata sembab ku kini merayap-rayap. Menatapi satu persatu keindahan alam di depanku.
Namun, tiba-tiba mataku terfokus pada sebuah pohon besar dan lumayan tua. Di bawahnya, duduk seorang perempuan, ia tertunduk lesu. Tangannya terus menari-nari di atas buku, sepertinya ia sedang melukiskan gambaran hatinya. Rasa penasaran mulai datang. Sebenarnya siapa gadis di bawah pohon itu ? Apa yang ia lakukan sore-sore begini? Kakiku yang sedari tadi terdiam, kini mulai beranjak, aku akan menghampiri gadis itu.
Perlahan bayangannya semakin jelas, dan aku tahu ….
“Astaga ! Dinda”, teriakku. Tapi sedikitpun tak ada respon darinya. Akupun segera berlari menujunya. Gadis manis itu masih tertunduk, teriakan kencangku sama sekali tak mengusiknya. Aku duduk di bangku di samping tempat ia duduk.
“Dinda, apa yang kamu lakukan di sini, tanyaku pelan. Ia tetap diam. Tetangga sekaligus sahabat dekatku itu masih sibuk dengan pena di tangannya. Percuma aku menanyainya terus, ia takkan menjawab. Kuberanikan untuk melirik buku yang sedang ia tuliskan sesuatu.
“Aku takkan bisa menemukanmu kembali”.
Tulisan Dinda sedikit menjawab pertanyaaku. Meski rasa penasaran masih memenuhi otakku.
“Dinda, ceritakan padaku, sebenarnya apa yang menjadi masalahmu, mungkin aku bisa sedikit membantumu”. Gadis manis itu menghentikan tangannya, wajahnya menoleh ke arahku. Kulihat, matanya berkaca-kaca.
“Viz, aku ingin dia kembali”. Kata Dinda tersendat, ia memecahkan tangisnya. “Maksud kamu dia siapa Din?”
“Aku ingin Ega kembali untukku Viz, tapi sayang, semua takkan dapat kuraih !” Akhirnya ia meneteskan air matanya. “Kalian putus?” teriakku penasaran. “Hhh … aku tidak putus Viz”, suaranya memelan. “Lalu?”
“Ega, Ega telah meninggal Viz, ia kecelakaan”. Tangisnya semakin dalam. “Hah, Ega? Telah meninggal? Kenapa bisa secepat ini”, heranku memuncak. “Sabar ya Din, memang semua tak ada yang kekal”.
“Iya Viz makasih. Tapi kenapa aku masih belum bisa merelakan kepergiannya? Aku teringat, kemarin ia masih bercanda denganku, kini … kini … ia harus pergi meninggalkanku?” sejenak suasana hening.
“Tapi engkau takkan sendiri Din, aku akan bantu kamu buat melupakan dia”, hiburku. Sahabatku itu mulai menghapus air mata di pipinya.
“Enggak Viz, kau tak perlu membantuku, aku takkan berusaha melupakan dia. Biar saja namanya bermusium di hatiku”.
“Tapi janji, kau takkan sedih terus”.
“Ia sahabat, aku akan berusaha”. Jawabnya yakin, ia beranjak dari tempat duduknya.
Aku hanya memandanginya berjalan meninggalkanku. Aku mulai mengaguminya, kagum karena ia begitu tegar menghadapi masalahnya.
Aku sedikit malu ketika menasehatinya tadi. Karena, pasti ia melihat mataku yang sembab, kebanyakan menangis. Aku harus sadar, bahwa masalah yang kuhadapi masih secuil dari masalah Dinda.
Lamunan membawaku pada datangnya malam. Langit menggelap, angin pun berhembus semakin dingin. Aku mulai beranjak meninggalknan kesendirianku. “Aku janji Din, aku akan jadi seorang setegar dirimu”. Kataku dalam hati.

JILBABER TOMBOY !!!


“Wah, kau cantik sekali pakai jilbab itu”, kataku kagum, melihat sahabatku baru pertama mengenakan sebuah jilbab. Aku membiarkan ia memandang kecantikannya di depan cermin kamarku. Sepertinya ia juga sedang melihat suatu perbedaan dari biasanya. “Iya Vi, aku lumayan cantik juga ya pakai jilbab ini !” Aku tersenyum melihatnya menyukai jilbab itu, paling tidak niatku menjadikannya seorang jilbaber lebih mudah.
“Vi, boleh gag jilbab ini buat aku? Boleh ya Vi, ya ya?” pintanya manja. Gadis ber-background tomboy itu, sebelumnya tak pernah menyukai warna pink. “Lho kog diminta? Trus aku pake apa donk?” jawabku sedikit jual mahal. “Yah, kan kamu masih banyak, pakai yang lain aja lah !”
“Ok Jes, it’s for you”.
“Makasih Ovi yang cantik n baik hati”.
“Emang kamu beneran mau pakai jilbab itu?” tanyaku. “Ehm..enggak. Aku Cuma mau pakai pas lagi ada acara pengajian atau yang lain. Emang napa Vi?”
“Lho kog gitu Jes, kamu bisa pake setiap hari kog. Jangan Cuma pas acara penting doank”.
“Yah…suka-suka aku donk Sob.” Jawabnya dengan singkat.
Huh…gitu lagi deh. Jessy benar-benar tak pernah mendengar kata-kataku. Sulit banget merubah si gadis cuek itu.
“Hai Vi, kenapa diam?” tanyanya mengagetkanku dari lamunan.
“Enggak kog Jes, aku cuma sayang aja. Seharusnya setiap muslimah itu mengenakan jilbab. And aku sangat ingin engkau sebagai muslimah yang mengenakan jilbab”. Jawabku lirih. Namun ia tetap cuek dengan nasehatku, “udahlah Vi, aku kan juga bukan orang yang menentang agama banget, aku juga sholat, puasa dan lain-lain itu, sama kaya muslimah lainnya?” Emosinya mulai meninggi, suaranya yang lantang lumayan mengusik telingaku. “Aku mengerti maksudmu, tapi seorang muslimah hanya bisa dikatakan muslimah kalau ia menutup seluruh auratnya !” Nasehatku kembali keluar untuknya. “Huhh…Shit”. Kemarahannya benar-benar memuncak, ia keluar kamar dengan membawa jilbab yang baru ia minta dariku. Baru kali ini dia marah seperti itu, dan baru sekarang juga ia berani membentakku. Aku hanya memandanginya meninggalkan rumahku dengan motornya. Sungguh kemarahan yan tak biasa kutemui dari sosok Jessy.
“Ah…apa aku terlalu memaksakan keinginanku? Mungkin aku memang tak seharusnya sekeras itu padanya, maafin aku Jes”. Kataku lirih. Air mataku mulai menjamahi pipi, aku tak ingin kehilangan sosok sahabat seperti dia.
***
Sudah seminggu ini aku tak bertemu dengan Jessy. Apa dia masih marah sama aku, biasanya abis pulang sekolah ia langsung main ke rumah? Tapi kenapa sejak kejadian kemarin tak nampak dia? Dihubungi, nomornya tak ada yang aktif. Aku tak bisa terus-terusan seperti ini, aku akan datang ke rumahnya, dan meminta maaf. “Ya. Itulah yang akan kulaukan”. Pukul 16.30, aku meluncur ke rumah Jessy.
“Assalamu’alaikum”.
“Waalaikumsalam, eh Ovi, yok masuk dulu Vi”. Sambut mama Jessy senang melihat aku berkunjung ke rumahnya. Setelah dipersilakan dudu, aku pun melirik-lirik suasana rumah Jessy, sepertinya aku sudah cukup lama tak mengunjungi rumah Jessy. “Nah gitu donk Vi, jenguk ke rumah, masa Jessy terus yang main ke rumahmu. Lagian juga keenakan Jessy, kabur dari pengawasan mamanya !” Hahaha… bisa-bisa saja nih mamanya Jessy. “Iya Tan maaf, banyak bantu mama di rumah”. “Oh gitu !” jawab mama Jessy tersenyum. Wanita berjilbab itu sangat cantik seperti Jessy ketika memakai jilbab. “Tan, Jessynya kemana?” “Oh iya sampai lupa, bentar kupanggil dia dulu”. Mama Jessy pun beranjak dari ruang tamu.
Beberapa menit kemudian, datanglah Jessy dengan 2 gelas minuman di nampannya. “Hai Vi, lama tak jumpa ya?” Kaget, aku melihat sikapnya, sangat meleset dari dugaanku sebelumnya. “Eh iya Jes, udah seminggu kau tak ke rumahku, ada apa?” kataku sambil memandang gadis itu masih dengan baju-baju tomboy-nya, dan rambut cepak sebahunya.
“Ssst…Vi sebenarnya seminggu ini aku dihukum mama, aku gak boleh keluar kecuali sekolah. Dua HP-ku juga disita. Untung aja hari ini kamu datang, aku senang sekali”. Jawabnya dengan senyum kemenangan.
“Oh tak fikir kamu marah sama aku gara-gara masalah kemarin? Susah juga ya kalau beda sekolah kaya gini?”
“Iya sih, sulitnya gitu, kita gak pernah ketemu di sekolah. Hehehe. Udahlah yang kemarin ya kemarin, aku udah nglupain kog.” Jawabnya yakin.
“Jes, kenapa kamu bisa dihukum sama mamamu? Pasti aneh-aneh ya?
Dengan cengengesan ia menjawab, “karena ketahuan aku bolos, saat aku jalan ke mall sama temen. Sial, ketemu mama, langsung dech HUKUMAN…!!! Hufh menyebalkan”
“Hehe Jessy-Jessy masih aja kaya jaman SMP, sering juga ngajakin aku bolos. Tapi sekarang aku sadar kalau bolos tuh enaknya cuma sesaat, ujung-ujungnya pasti merepotkan.
Jam sudah hampir Maghrib. Aku segera berpamitan pada Jessy dan mamanya. “Hati-hati ya friend”. Lambaian tangan Jessy mengiringi langkahku. Aku senang sekali tak jadi kehilangan sahabat. “Tapi…apa aku harus menyerah jalanin misiku? Gak, aku gak boleh menyerah, tapi tidak untuk sekarang. Semua butuh proses.
***
“Ovi…!!! Aku datang lagi”. Teriak Jessy, begitu ia sampai di rumahku. Ia sangat gembira bisa menemui kembali kebiasaannya itu. Mamaku hanya tersenyum menyambut jabat tangan Jessy, yang memang sudah sangat basi bagi mamaku, tapi aku sangat menyukainya.
“Vi…sini…sini…sini aku Bantu kamu”. Segera ia menyamber tumpukan buku yang kubawa masuk ke dalam kamar. “Vi, aku mau curhatdonk”, pintanya serius. “Iya tapi jangan sekarang, aku masih beresin kamarku dulu Jes ! “Udah…aku Cuma sebentar kog, kamu sambil beresin juga bisa !” “Ya sudah, coba ceritakan, aku mau dengerin curhatmu”.
Jessy pun mulai bercerita, dan aku masih meneruskan kesibukanku.
“Vi, temen-temenku cowok di sekolah kan banyak. Sejak dari kelas 1 kita sering numpul bareng and bercanda bareng. Aku sangat menyukai gaya mereka yang super ceplas-ceplos. Bikin ngocak perut terus. Pokoknya aku seneng dech bawaannya. Tapi akhir-akhir ini mereka kelewatan ceplas-ceplos !”
“Maksudnya?” tanyaku penasaran.
“Makanya tunggu aku cerita dulu, jangan tergesa-gesa. Vi, mereka semua sekarang kan udah pada punya pacar. Nah, yang dibicarakan selalu aja cewek mereka masing-masing. Ada yang bilang inilah..itulah..! Otomatis aku sebagai cewek sendiri di sana lumayan tersinggung saat mereka mulai membicarakan tentang hal-hal nyeleneh alias porno. Kog mereka gak menghargai kehadiranku di sana ya? Mau tersinggung? Percuma ! Mereka pasti malah ketawa ngeliat aku kaya gitu. Gimana ya supaya mereka bisa lebih menghargaiku?”
Aku terhenti dari kesibukanku, melihat gadis itu penuh kata tanya di matanya.
“Jessy, jika engkau ingin dihargai orang lain, terlebih dahulu kamu harus hargai diri kamu sendiri”.
“Maksudnya”
“Kamu sudah mulai dewasa, aku yakin kamu tahu bagaimana seharusnya kamu menghargai diri sendiri”.
Ia mengangguk memandangku, sepertinya ia berfikir untuk memaknai apa yang baru ku katakana.
***
Pulang sekolah, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku akan pergi ke took buku dan rencananya akan mengajak Jessy juga. Aku mampir ke sekolahnya yang jaraknya lumayan jauh dari sekolahku.
Akhirnya sampai juga aku di sekolahnya. “Jessy dimana ya? Teman-temannya udah bubar, kog dia lum muncul”.
Tiba-tiba suara lantang memanggil namaku dari belakang. “Oviii…!” Badanku berbalik, memfokuskan pada seorang gadis berjilbab yang datang menghampiriku.
“Jessy ?” Aku memandanginya kagum, tak percaya dengan perubahan Jessy hari ini.
“Yoi Vi, ni aku Jessy. Gimana ?”
“Jes, ini luar biasa. Kamu hebat”.
“Makasih”. Jawabnya dengan senyuman manis. “Vi, inilah pikiranku dalam memaknai kata-katamu kemarin, tentang bagaimana aku menghargai diriku sendiri, hari ini teman-teman sudah mulai berubah, masih sebagian sich. Tapi Vi, aku tidak biasa dengan semua ini.
Aku menjawabnya dengan senyuman bahagia. “Justru itu Jes. Jangan jadi Jessy yang biasa, karena kebiasaan-kebiasaan yang biasa. Tapi jadilah Jessy yang luar biasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang luar biasa juga”.
“Ok. Sip deh bos”. Jawabnya mengacukan jempol tangannya.
“Kog bos?”
“Ok Ustadzah.” Masih mengulangi ekspresi sebelumnya.
“Kog Ustadah?”
“Ok Sob?”
“Jessy-Jessy tetep aja tomboy. Jes, pesanku, kalau udah melalui tahap awal, kamu harus pertahanin ya!”
“Ok bos”
“Bos lagi. Ya sudahlah Jes, itu memang dirimu. Tomboy ooy.”
“Hahahaha.” Kamipun tertawa bersama.

Adisty


Aku terdiam tertunduk melihatnya mengalihkan pandangannya dariku. Suasana hening, tak ada suara diantara kami berdua.
“Kak Eza, sudahlah aku tak memerlukan kepastianmu, aku tak butuh penjelasan darimu. Hari ini aku hanya mengungkapkan, bahwa aku mencintaimu.” Mulutku mulai terbuka setelah lama menunggu kata yang tak kunjung keluar dari mulut kakak kelasku itu. Pengungkapan cintaku padanya sama sekali tak menyentuh perasaannya.
“Tik” , air mataku jatuh. Berat rasanya merasakan keperihan ini. Tapi inilah yang terjadi. Setelah ku tunggu, tak ada balasan kata-kata darinya, aku makin perih. Kulangkahkan kakiku perlahan meninggalkannya. Kehampaanku sangat terasa saat aku berpaling darinya.
Kupercepat langkahku, sudah tak kuat kutahan tangis ini. Percuma saja ku menangis. Sekalipun ia tak memikirkan kehadiranku.
***
“Bukk”. Beberapa buah buku jatuh menabrakku. Tangisan perihku terhenti melihat Kak Vendie, sahabat Kak Eza. Tanpa memikirkan bukunya yang terjatuh ia menanyakan keadaanku. “Dis, kamu tidak pa pa? kenapa mata kamu terlihat sembab? kamu menangis? ada apa Adisty?” Bertubi-tubi pertanyaan Kak Vendie menyerangku. Aku sama sekali tak ada hasrat untuk menjawabnya.
Aku meneruskan langkah kakiku. Tak kupedulikan apa yang Kak Vendie rasakan saat mendapat perlakuan cuekku. Aku sendiri masih tenggelam dalam kesedihan.
***
“Adisty, ayolah cerita ke aku, mengapa kamu menangis?” Tanya Kak Vedie, ia rela menemuiku sepulang sekolah, untuk menghentikan segala perasaan penasarannya itu. Sebenarnya aku tak ingin menceritakan hal pribadiku tersebut padanya, pada orang yang sangat dekat dengan Kak Eza. Namun, memang hanya dia yag selama ini mampu mengurangi pedihku.
Aku mulai mengangkat kepercayanku, kuceritakan semua padanya.
“Lalu apa Kak yang seharusnya aku lakukan? Kak Eza sama sekali tak menanggapi kata-kataku, apa Kak Vendie ada penyelesaian?” tanyaku begitu aku selesai menceritakannya. Wajah Kak Vendie perlahan memerah, ku bisa baca perasaannya yang mulai emosi.
“Adisty, semampuku, aku akan coba bantu kamu, kamu gak usah khawatir, semua akan secepatnya selesai”. Jawab Kak Vendie yakin.
***
Pukul 9 pagi. Pelajaran PKn yang dibawakan Pak guruku membuatku ngantuk tak tertahan. Kuamil langkah untuk izin membasuh muka ke kamar mandi.
“Wushh”. Basuhan air membuka mataku. Kesegaran mulai terasa. Sayup-sayup kudengar dua orang laki-laki berbicara di toilet sebelah. Makin lama aku semakin bisa menangkap suara mereka berdua.
“Astaga!” itu adalah suara Kak Eza dan Kak Vendie.
Telinga kupasang lebar untuk mendengar percakapan mereka yang cukup keras.
“Za, setelah kamu tahu Adisty menyukaimu, kenapa kau sama sekali tak menanggapinya? Kau benar-benar tak menyukainya atau ingin membuat luka dalam hatinya?” Tanya Kak Vendie sedikit teriak, terdengar jelas di telingaku. Sepertinya aku tak sabar mendengar jawaban Kak Eza. Kira-kira apa ya?
Suara Kak Eza yang sehari-harinya lembut, kini berubah meninggi, mengimbangi pertanyaan Kak Vendie. “Ya Ven aku hanya ingin menyakiti Adisty.” Jawabnya singkat.
Seketika hatiku menangis, tak ada lagi yang kuat kutahan. Ingin rasanya aku berlari mengadu rasa ini. Entah pada siapa??? Tetapi kakiku tetap tak beranjak untuk tetap mendengar pembicaraan mereka.
“Tapi mengapa kau lakukan itu Za?” Tanya Vendie pelan. Aku mulai menghentikan tangisanku untuk focus mendengar jawaban Kak Eza selanjutnya.
“Lebih baik aku menyakiti Adisty, daripada aku harus menyakitimu Ven. Aku tahu dan sangat sadar bahwa kau sendiri sangat menyukai Adisty.” Jawab Kak Eza keras.
“Za, dengarlah, meski cinta Adisty menjadi milikmu, aku akan tetap menjadi sahabatmu. Aku akan lebih bahagia, melihat kalian bahagia. Eza, aku ingin engkau tak lagi membohongi perasaanmu untuk menyakiti Adisty!” Jawab Kak Vendie bernada rendah.
Aku yang terdiam, mulai menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan kufikirkan pada hal ini. Aku tak akan memilih salah satu dari mereka. Dan aku takkan meneruskan perasaan ini. Karena hal ini hanya merenggangkn semuanya. Semua antara aku, Kak Eza, dan Kak Vendie.

Thank You Adel !!!

Aku berjalan menuju sudut sekolah, kantin. Tempat dimana aku dan Angga, sahabatku, bias menghabiskan waktu bersama. Kulihat beberapa meter dari langkahku, ada Angga menikmati semangkuk bakso langganan kami. “Hei Ver, sini ayo cepat, ntar biar bias makan bareng”, sapa Angga, melihat aku memasuki kantin. Aku langsung menyerobot antrian bakso. Tak kupedulikan beberapa mata aneh melihat tingkahku. Yaaah…syukurlah, semangkuk bakso siap kulahap.
“Ngga, gimana proyek kamu? Sukses?’ tanyaku, begitu aku duduk menghadapnya. Proyek Angga yang kumaksud adalah proyek tentang kisah cintanya dengan Adel, salah satu siswi seangkatan dengan kami, yang kukenalkan pada Angga.
“Masih jauh Ver, aku sulit banget nemui dia, sibuk mlulu anaknya”. Jawab Angga yang ternyata mengerti apa yang kumaksud dengan proyek tadi. “Berjuang terus donk Sob, kan ada aku, aku siap jadi mak comblang kalian”. “Ver, ver, kamu ini ada-ada saja”. Bakso di hadapan kami tak terasa telah lenyap termakan laparnya perut. Akupun segera beranjak meninggalkan meja. “Lho Ver, mau kemana? Nggak duduk-duduk di sini dulu? Jam istirahatnya masih lama kog?” “Sorry Ngga, aku musti ke perpus dulu, mau nyari bahan buat tugasku”. Aku pun berlari meninggalkan Angga. Entah mengapa hari ini aku lumayan Bad Mood. Otakku benar-benar penuh dengan pikiran-pikiran aneh.
Pintu perpus tak sadar telah kulewati. “Lho, kog udah lewat?” Mau balik. Ah males. Lagian emang tadi gak benar-benar mau ke perpus kog. Akhirnya kuteruskan langkahku, dan terhenti di suatu ruang kelas (bukan kelasku). Aku melihat seorang Adel sedang duduk di bangkunya mencorat-coret sebuah kertas pink di depannya. “Hai Del, lagi ngapain?” Ternyata tanyaku yang super tiba-tiba mengagetkannya. Dengan cepat-cepat ia menyembunyikan kertas yang baru ia tuliskan sesuatu itu. “Eh Vera, nggak kog. Aku nggak lagi ngapa-ngapain, tadi Cuma iseng. Vera ngapain ke sini? Ada perlu kah?” Jawabnya lumayan gugup. Aku mengerti maksudnya, bahwa aku tak boleh melihat kertas warna pink-nya itu.
“Oh aku Cuma pengen mampir aja tadi. Sudah lama ya kita gak ketemu? Angga gimana?” Adel menatapku, ia kaget aku menanyainya tentang Angga. “Gimana apanya Ver? Angga baik-baik saja bukan?” “Maksudku, Angga anaknya gimana?” “Oh gitu. Iya Ver dia baik kog, aku senang bias berteman dengannya”. Jawaban yang begitu singkat nbuatku. Tapi aku sedikit memberinya kesempatan bernafas. Karena aku melihat, keringat mulai membasahi keningnya yang tertutup poni itu. Aku terus terdiam. Ia pun kembali berucap, “Ver, kapan-kapan aku bias nitip sesuatu gak sama kamu? Aku pengen kasihkan ke Angga?” tanyanya padaku. Terlihat wajah Adel yang sangat serius. “Sip dah Del, aku mau. Cieee… nitip apaan niy buat Mas Angganya?” Godaku. “Ah … bukan apa-apa Ver? Jawabnya tersipu malu.
Jam sudah merapat, memasuki jam berikutnya. Aku segera berpamitan pada Adel dan beranjak keluar kelas. Begitu aku sampai di pintu kelas, aku mendengar suara nyanyian dari Angga sedang lewat. “Aduh … si Angga”. Akhirnya aku ngumpet di balik pintu. Adel memandangiku keheranan, sebenarnya apa yang kulakukan? Setelah kurasa aman, cepat-cepat aku keluar kelas. Tapi, sial “Bukk” badanku terbentur buku yang dibawa oleh seorang guru. “Hei Ver, hati-hati kalau jalan !” seru bu guruku. “Eh iya bu, maaf-maaf”. Jawabku tergesa-gesa sambil merapikan buku-buku tersebut.
Nah, sampailah aku di kelas. Duh, ada Pak guru. “Vera ! kamu dari mana saja? masuk telat. Kamu tahu ini pelajaran saya?” Buset dah, killer banget niy guru. Untung tadi udah makan semangkok bakso, kalau gak, mungkin sekarang pingsan. (trus apa hubungannya? Hehehe). “Iya pak maaf, aku gak akan mengulangi lagi pak. Janji.” Jawabku diiringi dengan berpasang-pasang mata teman sekelas, seakan tak ingin merasakan kejadian seperti ini. “Ya sudah ccepat duduk”.
“Sssst.. Ver, kamu dari mana sih, aku tadi nyusul kamu ke perpus tapi kamuny agak ada”. Hembusan nafasku yang ngos-ngosan, membuatku susah berkata. “Aku dari perpus Ngga, kamunya aja gak bias nyari aku”, jawabku. Teman sebangkuku itu benar-benar mengkhawatirkanku. “Hai kalian ! jangan ngobrol sendiri !” gertak Pak guru. Huuh… sebel banget niy hari.
***
Morning. Jadwal hari ini apa ya? Matematika! Oh no! ada tugas! Belum ngerjain! Jam sudah mepet. Aduuuh…. Hari ini lebih parah dari hari kemarin. Langsung kusamber kunci motorku. Kulajukan sekencang-kencangnya sesuai keberanianku. “Wussshh…..,” dinginnya angin pagi trus mengenai permukaan kulitku. Hhh…untunglah sampai sekolah belum terlambat. Aku langsung duduk dan segera mengerjakan PR-PR ku.
“Ver, sedang apa?” Tanya Adel di samping tempat dudukku. Aku tak menyadari hadirnya gadis itu, tiba-tiba ia di sampingku, atau sengaja ia menungguku. Aku yang pontang-panting ngerjain tugas, tak sedikitpun memperhatikannya. Tapi sepetinya Adel tak memperdulikan kesibukanku. “Ver, aku ganggu ya? Aku cuma pengen nitip ini buat Angga. Terima kasih”. Katanya, kemudian ia berlari meninggalkan kelasku. Begitu ia menggeletakkan kertas berwarna pink, di samping buku tugaskku.
Aku masih sibuk dalam tugasku. Lembaran pink itu masih tergeletak di tempat ia sebelumnya. Hhhh…selesai juga akhirnya tugasku, pas banget ama kehadiran sang guru killer-ku. “Hayooo …baru selesain tugas ya?” Tanya Angga mengagetkanku, rupanya ia baru datang. “Ssst…Ngga jangan kenceng-kenceng, ntar ketahuan”. “Halla, kamu ini kebiasaan Ver”.
Pulang sekolah tiba. Aku masih tenggelam dalam catatan-catatan yang musti aku salin dari buku Angga, karena aku lumayan ketinggalan catatan. Hehehe. “Ver, aku pulang dulu ya, sorry aku gak bisa nemenin. Aku harus cepat pulang. See you”. Angga pun berlalu meninggalkanku. Duh masih banya yang belum kucatat, aku juga udah lama di sini. Pulang ah.. ntar dikerjakan lagi di rumah. Aku segera merapikan buku-buku pelajaranku, rasanya ingin cepat sampai di rumah and tidurrrr… (lho kog? )
Tapi, aku melihat kertas berwarna pink tersisip di bawah bukuku. “Ah..aku lupa ngasihkan buat Angga”. Kumasukkan kertas itu ke dalam tasku. Aku berniat memberikannya besok, saat bertemu kembali dengan Angga.
***
Wah..,kayanya si Angga dapat tanggapan bagus niy dari Adel. Tapii..kenapa rasanya aku benci banget dengan kenyataan ini? Memang tanpa disadari seorang Anggad. Aku diam-diam menyukainya. Benar-benar menyukainya lebih dari seorang sahabat. Tapi rasa itu ku simpan rapat-rapat.
Malam ini aku terus terjaga. Penasaran dengan isi tulisan dalam kertas pink itu. “Baca gak ya? Baca, gak, baca, gak. Kalau baca, gak enak ganggu privasi orang. Kalau gak baca, bisa penasaran setengah mati aku”. Omelku sendiri. Akhirnya aku memberanikan membuka kertas pink itu. Di bagian luar, tak tertulis sama sekali, dari siapa dan untuk siapa kertas itu dikirim. Apaan ya? Dan …
Deg. Aku mulai membaca setiap kalimatnya. Aku benar-benar tak paham dengan yang sebenarnya terjadi.
My best friend
Terima kasih, inilah ungkapan yang sangat kutunggu darimu Ver. Sudah lama kita bersahabat, tapi sebelum itu, aku sudah sangat menyukaimu.
Aku merelakan engkau mengenalkanku dengan Adel, karena aku memang ingin melupakan perasaanku padamu.
Namun selama ini hanya kupendam, aku takut merusadk persahabatan kita.
Kini, aku sudah mengerti perasaanmu. Lupakan persahabatan kita, biarlah kini cinta bersemi diantara kita.
Friendsip telah berubah jadi love.
Aku juga mencintaimu Ver.
Salam Cinta,
Angga

Jadi, selama ini Angga suka sama aku? Yes…yes…yes…!!! (bahagia nieh). Tapi kenapa pengirimnya jadi Angga? Bukankah ini surat buat dia? Aku jadi semakin bingung !!! Besok, aku harus segera menanyakan hal ini pada Angga. Ini seudah larut malam, dan aku tak mungkin menelponnya.
Ada rasa bahagia dalam hatiku. Akhirnya teka-teki kehadiran cinta diantara kami terpecahkan. Namun juga ada rasa khawatir, akankah cinta ini lebih kekal dari persahabatan kami sebelumnya?
***
“Ngga, kantin yuk. Aku belum sarapan nieh?” ajakku pagi-pagi. “Tapi bentar lagi masuk Ver”. “Ah sudahlah bolos sekali-kali”. Aku terus menariknya agar mau mengikutiku. Dengan senyuman manis di wajanya ia menerima ajakanku.
“Pak, dua mangkuk bakso ya”, Angga memesan bakso, begitu kami sampai di kantin. Aku duduk menghadap Angga, aku tak sabar ingin segera meng-klarifikasi masalah surat pink tersebut.
“Ngga, maksug suratmu ini apa?” Aku mnyodorkan surat yang sudah mulai lecek itu, karena semalam aku terus tutup buka-tutup buka untuk membacanya seolah tak percaya. “Lho ini kan surat yang kubuat untuk kamu, atas balasan suratmu sebelumnya. Aku menulisnya ketika istirahat, di perpus, memanggnya ada yang salah Ver?” Aku melotot terkejut. Haa !!! balasan suratku sebelumnya? Perasaan aku gak pernah nulis deh. “Ngga, boleh kulihat suratku sebelumya?” Angga segera mengeluarkan secarik kertas pink dari dalam tasnya. “Ni Ver !”

Untuk cintaku,Angga.
Angga, semenjak kita berkenalan, aku sangat menginginkanmu. Tapi kenapa tak pernah kau sadai itu? Semoga cintaku tersambut olehmu. Aku mencintaimu Angga.

Pengagummu

Hah…apa-apaan ini? Pasti ini surat Adel buat Angga. Aku masih melototi kertas pink tersebut. “Ver, aku menemukan kertas itu di samping buku tugasmu. Lalu aku mengambilnya tanpa sepengetahuanmu. Sungguh Ver, aku sangat bahagia mendengarnya”. Angga menatapku. Aku sendiri benar-benar bingung, kau harus jujur atau aku akan bohong? Sepertinya, kali ini kejujuranku lebih dominan.
“Angga, kamu tahu? Aku juga sangat mencintaimu. Namun sungguh, bukan aku yang mengirim kertas ini. Adel menitipkan ini padaku untuk diberikan padamu, tapi ternyata kau telah mengambilnya, dan kau fikir itu surat dariku”.
“Hah Adel? Benarkah, berarti aku salah? Tapi tunggu-tunggu, kau juga mencintaiku. Berarti aku mengirim suratku pada orang yang tepat pula”.
“Tapi bagaimana dengan Adel Ngga?” tanyaku super bingung. “Tenang Ver, aku akan beri penjelasan padanya baik-baik, dia pasti mengerti kog”.
“Mudah-mudahan”.
Hari ini, hari yang sangat membahagiakan buat kami. Karena semua ya ng sebelumnya bersifat sahabat kini jadi sifat cinta.

Cinta Kak Fajar !


Aku melihat sekelilingku, berharap akan ada perubahan dalam hidupku. Ya. Angan-anganku akan kehadiran sosok yang kurindukan, sosok yang mengisi hari-hariku Selama ini, akan datang menghampiriku. Kak Fajar, begitulah caraku memanggilnya, seorang mahasiswa semester 3 dari salah satu kampus di kotaku.
Memang tak mudah bagiku menggapai asaku untuk memilikinya, bahkan sempat berfikir, aku takkan sanggup bersanding dengannya. Sampai saat ini pun aku masih berani berharap padanya, jelas-jelas ia sudah memiliki orang lain. Entah, aku juga tidak percaya dengan apa yang kurasakan. Cintaku ini memang buta. Aku masih saja bangga akan pribadi dan kehidupannya, dan semuanya yang kutahu darinya. Aku tidak peduli bila harus mencampuradukkan antara perasaan bangga dan cinta, aku hanya ingin mencintai seseorang yang aku cinta, sekalipun ia tak tahu aku telah berharap penuh atasnya. Malam ini, aku benar-benar kehilangan selera untuk tidur. Sudah 5 bulan ini, aku tak mendengar kabar, curahan hati dan candanya.
Memendam perasaan seperti ini memang begitu menyiksaku, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terus terdiam, termenung, terpikirkan olehnya. Kekagumanku terhadapnya membuatku ‘fanatik’ pada semua hati yang menawarkan untukku. Aku menganggap Kak Fajar adalah yang terbaik untukku, seseorang yang mampu memberikan kesempurnaan hidupku.
Malamku kini telah berganti pagi. Mentari memncarkan sinar hangatnya melalui celah jendelaku. Tiada yang berubah dari hari kemarin. Semuanya tetap sama. Aku masih memikirkan Kak Fajar, jiwaku resah tak tentu. Bahkan niat konyolku keluar, mengungkapkan perasaanku padanya melalui E-mail. “Ah…aku tak peduli, aku menahan malu, dan aku harus melakukan ini jika mau tahu perasaan Kak Fajar padaku agar aku tidak tersiksa dengan perasaanku sendiri”, gerutuku.
Dihari-hari berikutnya, niat menulis E-mail pada Kak Fajar semakin kuat. Sudah tak ada cara lagi untuk menahan perasaan anehku ini. Kata demi kata coba kurangkai, kalimat demi kalimat coba kutulis untuk menggambarkan hatiku padanya.
“Assalamu’alaiku Wr. Wb.
Hari ini aku merendahkan ketinggian hatiku …
Kuhidupkan keberanianku …
Menyatakan kejujuran atas hati ini ….
Tiada salah jika Ia menciptakan Kak Fajar bukan untukku …
Namun jangan salahkan aku jika cinta bersemi dalam hatiku …
Biarlah rasa ini tetap ada …
Jangan paksa aku untuk mengusirnya …
Maafkan aku telah berani mencintai Kak Fajar …
Aku tahu ada dia di hati Kak Fajar …
Aku ngerti tak ada ruang untukku ….
Aku hanya ingin Kak Fajar tahu,
Bahwa ada aku di sini yang menyayangi Kakak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.”
Ku klik send pada layar komputer. “semoga saja Kak Fajar mau membaca E-mail-ku ini”, gumamku dalam hati.
Kini ada rasa puas di hatiku, meskipun aku tak tahu apa balasan E-mail-ku? atau bahkan tak ada balasan? Oh My God.
Aku lebih sering membuka E-mail-ku, sudah dua hari yang lalu aku mengirimnya, masa sampai saat ini belum ada balasan darinya? “Aduh … kenapa tetap no message, masa Kak Fajar sengaja nggak membalasnya? Pikiran negatif mulai merasukiku, keraguanku mulai datang. Tapi aku tetap meyakinkan diri, bahwa Kak Fajar bisa memberikan solusi terbaik tanpa harus lari dari masalah.
Aku menjadi seorang yang pendiam dari seelumnya. Segala ‘virus tak selera’ mulai menjalariku. Teman-teman sekolahku mulai menyadari ketidakbiasaanku ini. Shela, salah satu temanku mendekatiku, dia menghiburku dengan sapanya. “Fina, kamu akhir-akhir ini ada apa sich ? lagi ada masalah ya? cerita ke aku aja, nggak apa-apa kog, aku bisa jaga rahasia kamu. Yaa…kalau mau cerita sich.
Dengan segala kepercayaanku, semua dari awal kuceritakan padanya. Tidak ada yang kurang, dan tidak ada yang lebih. Semua telah didengar oleh temanku itu. Tapi dengan gayanya yang super aneh, ia menanggapi ceritaku. “Fin, Fina, kamu ini ada-ada saja, masa seorang Kak Fjar mau sama kamu? aku kurang yakin dia mau menerimamu. Ingat donk, kamu dan Kak Fajar tu bedanya jauh pooollll… Dia udah masuk kuliah, jadi teman-teman cewek super cantik yang menyukainya, sudah pasti ‘antri’. Ditambah lagi dia pinter, aktif, and pinter dalam berbagai hal. Aku akui kamu juga punya akan hal itu, tapi bagiku, ahhh…tetap jauh. Kalau aku jadi kamu, lebih baik mundur saja lah, daripada malu-maluin diri sendiri kaya gini. Gak mungkin dia suka sama kamu? Hhhh…itu hanya ‘ocehanku’, semua kembali pada hatimu Fin.”
Aku tertunduk terdiam mendengar kata-kata Shela barusan, benar-benar masuk dalam pikiranku. Aku mulai pesimis. “Apa aku harus membunuh perasaanku ini ya?” gumamku dalam hati.
E-mail mulai jarang kubuka, aku tak peduli dengan hal itu. Mungkin memang benar, aku dan Kak Fajar terlalu jauh perbedaannya. Hari-hariku berikutnya kujslani seperti air yang mengalir, mencoba menghilangkan bayangan Kak Fajar dari hatiku. Aku baru membuka inbox , setelah hari ke-20. “Syukurlah, ada inbox masuk, mudah-mudahan dari Kak Fajar”. And ternyata benar … ada pesan dari Kak Fajar.
“Assalamu’alaiku Wr. Wb..
Maaf Fin, balasannya telat.
Hari-hari ini Kakak sibuk, tak sempat memuka E-mail-ku.
Maaf juga karena jarang sms,
Aku kaget memaca pernyataan Fina kemarin, sangat mengagetkan bagiku.
Namun, aku sangat menyukai kejujuranmu itu
Kamu tahu? tak semua orang bisa melakukan hal seperti kamu.
“Aku tahu ada dia di hati Kak Fajar …
Aku ngerti tak ada ruang untukku …”
Peryataan itu tak benar Fin.
Dia itu dia siapa? aku tak mempunyai orang special di hatiku. Kamu salah sangka.
Awalku bertemu denganmu, ada yang luar biasa darimu.
Aku menyukai sifatmu yang apa adanya.
Aku juga sangat menyayangimu lebih dari adikku.
Memang banyak pula dari kaummu yang berusaha merebut hatiku, namun entah mengapa hanya ada dirimu di hatiku.
Demikian balasan dariku, semoga engkau percaya padaku. Tidak ada yang tak mungkin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Perlahan air mataku meleleh, ada rasa haru dan bahagia menyelimutiku. Memang benar “Tidak ada yang tak mungkin”. Aku selalu pesimis dan ragu akan perasaanku sendiri, hanya karena ‘ocehan’ temanku. Seharusnya aku tidak memikirkan kata-katanya, toh dia sudah memberiku ‘kebebasan’ untuk percaya atau tidak.
Hhhh… Kak Fajar, akhirnya aku tidak hanya memimpikanmu hadirmu lagi. Engkau benar-benar ada dalam kehidupanku. Andai saja dari dulu aku menyampaikan perasaan ini, mungkin tak akan ada yang namanya ‘penyakit memendam perasaan’.

Awas ! Jilbab trendy


Semakin memasuki era globaliosasi, semakin pesat pula tantangan bagi seorang muslim/muslimah. Kemajuan IPTEK dan persaingan gloal, sangat memicu terjadinya kemunduran moral manusia itu sendiri. Bukan berarti IPTEK dan arus globalisasi adalah titik puncak masalah dehumanisasi, tetapi ketahanan iman dan taqwa adalah sumber kekuatan untuk mengendalikan kerusakan moral insan di bumi ini.

Betapa tidak? Sekarang, melalui jaringan internet, dengan bebas, orang dari seluruh penjuru dunia dapat mengakses situs-situs yang tak lazim dipublikasikan. Kita (remaja/dewasa) mungkin bisa bertahan dengan iman yang kita punya (jika punya sih…!). Kalau sang ‘pengakses’ ternyata adalah anak-anak? Nah lo… Siap dech moral rusak.

Itu sebagian dari efek arus globalisasi. Ada kemajuan sekaligus tantangan lain yang melanda khusus para muslimah. Yaitu jilbab. Hah…jilbab???

Jilbab memang hal yang sangat wajib bin ‘kudu’ dipakai seorang muslimah.

Hmm.. alangkah cantiknya, seorang muslimah yang menggunakan baju muslimah, dengan jilbab anggun menutup aurat bagian atasnya. Dia tersenyum ramah, dengan cahaya yang memancar dari raut wajahnya. Tak ada perlihatan nafsu di sana. Semua nampak anggun nan indah.

Tapi awasss !!! Pemilihan jilbab juga harus diperhatikan betul-betul. Sekarang kreativitas bentuk-bentuk jilbab semakin menggoda. Apalagi dengan selera remaja jaman sekarang. Banyak ditawarkan produk jilbab trendy yang up-date. Siapa yang gak kepincut ??? Memang harus pintar kita memilahnya, karena mungkin saja jilbab-jilbab itu tidak menutup aurat seorang muslimah. Jilbab, tak menutup aurat?

Ya. Kaji firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab : 59,

yang artinya : … Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab sampai ke dadanya.

Jelas. Allah menyuruh kita (muslimah) untuk menutup aurat kita, tak terkecuali mengulurkan jilbab sampai ke dada.

Namun sekarang, banyak juga jilbab yang modelnya tak bisa menutup dada. Bahkan ada yang tak menutupi leher. Hal yang sederhana ini bisa saja luput dari kesadaran kita, karena hanya ingin mengikuti trend jilbab. Hmm…tak perlu khawatir, masih banyak juga jilbab yang bisa menutup aurat muslimah and tentunya terlihat sangat indah dipakai sang muslimah.

Semoga dengan tulisan ini, muslimah-muslimah bisa mengerti dan sadar akan pentingnya pemilihan jilbab.