Welcome Myspace Comments

Dengan ini kuciptakan sebuah persembahan... Semoga kalian suka... Cintai Budaya Membaca

Jumat, 03 September 2010

Cerita Bersama Sahabatku


”Wah kereeen...cantik banget El?” sambut En, sahabat baruku di sebuah SMK Islam. Dia sangat kaget melihatku berjilbab. MOS kemarin, ia tak mendapatiku memakai jilbab, karena aku bukanlah siswi yang berasal dari SMP khusus Islam seperti dia.
Ia tersenyum berdiri di depan pintu kelas pertama kami. Aku pun membalasnya dengan senyuman terindahku, meski kutahu senyumannya lebih indah dariku. Dia juga sangat cantik dengan jilbab barunya, meski aku tak pertama kali melihatnya berjilbab. Inilah pelajaran pertama darinya. Ia tak ragu untuk memuji seseorang, meski hal itu belum tentu indah atau baik di mata orang lain. En, seorang gadis imut dan cerewet. Ia tahu bagaimana bisa menyenangkan orang lain. Itulah mengapa aku sangat terhibur dengannya.
”Wuih...tulisanmu bagus El, lihat nih tulisanku? Amburadul ! hehehe.” Ia kemudian menunjukkan tulisannya yang kurasa memang tidak rapi. ”Bagus En !” Jawabku bohong, sedikit membuatnya senang.
Kami duduk sebangku, paling depan dan tepat sekali di depan meja guru. Bukan aku yang memilihnya, tentu saja itu pilihan En. Seminggu yang lalu, ketika pertama kali MOS, En duduk dengan seorang teman lain bernama Yani. Namun ternyata Yani memilih teman lain untuk sebangku dengannya. Sang kakak OSIS pun memilihku untuk duduk mendampingi En. Senyum ramah En menyambutku. Perasaan yang awalnya membuatku ragu, kini sangat menyukainya.
”Sini El, kamu duduk sebelah kiriku yah,” katanya. ”Iya En, makasih.” Jawabku tersenyum lebar.
***
”El, aku ngantuk !” Bukunya disodorkan ke arahku, ia menulisnya di halaman paling belakang. Ia mengajakku ’SMS’an dengan bukunya. Meski awalnya terlihat aneh, tapi kami akhirnya membudayakan hal ini setiap hari, apalagi jika benar-benar malas mengikuti pelajaran.
”Eh, ini sedang pelajaran, usil banget sich surat-suratan begini?” Aku menyodorkan kembali pada En, setelah aku selesai menulis balasannya.
”Aku boring banget El, gurunya datar-datar aja, gak menarik”. Tulisnya lagi. Salah satu tangannya menyangga kepala yang sepertinya sudah tak kuat untuk tegak.
”Dasarrr !” balasku.
Perlahan, dia pun berjalan ke bangku kosong paling belakang (dan pura-pura membawa buku), yang dilakukannya adalah tidurrrr...... Oh...no...
Aku ikut mengahampirinya, sepertinya aku juga mulai tak menyukai cara guruku itu, bikin nguap terus (daripada aku menguap di hadapannya ?)
Dengan berjalan pelan, aku mendekati En di bangku belakang.
”Sssstt... bangun En, bangun,” bisikku. Tanganku menggoyang-goyangkan bahunya. Tapi ia tetap cuek, ”Ufh...aku ngantuk El, jawabnya lemas. Entah pikiran darimana? Aku pun mengikutinya, menyandarkan kepalaku semeja dengan En. Sejam berjalan, tapi tak ada reaksi dari guruku untuk memarahi atau membagunkan kami. (Guruku kelewat baik... ).
”Tet...tet...” Bunyi tanda ganti pelajaran. Aku dan En terbangun, kami saling pandang dan kemudian tersenyum. Mata kami sama-sama merah.
”El, ayo ke toilet.” Ajak En mengulurkan tangannya. Aku pun meraih tangannya, kami berjalan pelan keluar kelas sebelum guru berikutnya datang. Bukan toilet yang dituju, tapi toilet guru.
”Waahh, nih anak ya?” pikirku dalam hati.
***
”El, sahabat kebanggaanmu sedang menangis tuh di tangga.” Kata Yani mengagetkanku. Kenapa ia tiba-tiba berdiri di dekat aku duduk, ia bersama kedua teman (teman sekelasku juga), dengan gaya anak gank (atau gang buntu kali ya?) seolah sedang menghakimiku. Aku memalingkan fikiranku ke En, membayangkan ia sedang menangis di tangga sekolah.
Yani kembali menambahkan, sebelum aku bertanya, dua temannya hanya diam (macam bodyguard gitu). ”Salah sendiri sok pintar, sok hebat. Emang kalau dia pinter, gak mau berteman dengan kita yang bodoh? Kamu juga, jangan ikut-ikutan dia. Sok gak mau berteman dengan kita karena lebih pintar.” Bentaknya keras, tangannya juga tak diam menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku kaget bukan kepalang mendengarnya. Aku pun segera berdiri dari tempat dudukku, menjawab kata-kata Yani, tentunya tidak sekeras yang Yani lakukan. Aku masih terlalu takut menghadapi mereka bertiga.
”Kalian salah paham, tak ada yang sok pinter di sini, kami juga tak ingin membeda-bedakan teman.” Namun Yani masih tetap mengomel, kedua temannya juga ikutan nyumbang omelan yang gak penting. Aku semakin risih saat mereka semakin menjelek-jelekkan En. Suaranya tak kalah menggelegar dengan suara Yani. Aku segera berlalu dan berlari menuju tangga sekolah. Percuma aku melawan, mulut mereka ada tiga. Huhuhu.
Kosong. Tak ada En di sana. Aku mencarinya di toilet guru, dan benar saja dia sedang sesenggukan menahan tangis di sana. ”En, jangan dengarjan mereka”. Hiburku, begitu aku menutup kembali pintu toilet.
”Sebenarnya apa salahku?” tangisan masih mengikutinya.
”Kamu tidak salah, semua salah paham,” aku kembali meyakinkan bahwa semua ini memang murni salah paham. Mengapa aku begitu meyakininya ?” Ya. Memang ucapan En yang terkadang super ceplas-ceplos, membuatnya tak bisa mengontrol kata-kata yang keluar darinya. Kata-kata ’pedas’ sering saja meluncur saat dirinya dalam keadaan bad mood. Tak peduli siapapun orang di hadapannya. Tentu saja hal ini disalah artikan oleh teman-teman yang agak sensitive (baca: sok kuasa) dan beginilahh akhirnya.
Ternyata tak semudah itu menghibur gadis cengeng ini (sama cengengnya denganku). Bukan membuatnya bisa tertawa dan terhibur, aku malah ikutan menangis, (tuh kan sama-sama cengeng). En baru akan berhenti menangis, saat ia telah mengeluarkan kemarahannya dengan curhat-curhat hebohnya. Heboh? Ya. Ia sambil teriak-teriak. But aku bahagia, saat bisa membuatnya kembali tersenyum.
***
”El, ikut aku!” Ajak En singkat, ia buru-buru menggandeng tanganku. ”Mau kemana En?” tanyaku heran. ”Udah...ikut saja !” Jawabnya enteng sambil terus menarikku keluar kelas. Kami menuju Ruang OSIS. Ternyata ia merekomendasikan aku sebagai Wakil OSIS. Aku terkejut, ”En kamu apaan sich?” bisikku pelan. ”tenang saja”, jawabnya.
Hanya ada anggota OSIS di Ruangan itu, dan semuanya berasal dari kelas dua alias kakak kelas. Aku dan En bergantian mengenalkan diri. Entah keberanian darimana? Aku bisa dengan sebegitu Pdnya ’mejeng’ depan para kakak kelas. Namun yang kutahu adalah aku hanya melakukan hal yang sama dengan En.
Sekian waktu berlalu, akhirnya kami resmi menjadi anggota OSIS, tentunya setelah pelantikan. Aku mulai belajar organisasi.
”Hehehe...senyum donk !” Sapa En, yang melihatku lumayan aneh (muram) dalam kelas. Ia pun tersenyum lebar, gigi gingsulnya menambah pesona kecantikannya.
”Yeyh..iya...iya...aku senyum,” jawabku. Semoga ini bukan senyuman yang terpaksa, pikirku dalam hati. Gimana mau senyum? Aku sama sekali tak tahu apa itu organisasi (yang ku tahu cuma suka ngumpul). Tapi kenapa nih hati benar-benar ingin mencobanya. Tak terasa aku tersenyum sendiri. ”Eh...eh...malah senyum-senyum sendiri !” Celetuk En. Hahaha jadi malu aku.
***
Pagi ini cerah sekali, udara sekolah terasa sejuk merasuk hidungku. Semangat baru menyambut pagiku sudah menanti. Aku segera duduk di bangku kesayanganku. Tak terasa tiga tahun sudah aku menjadi ’penghuni’ setia bangku ini bersama En.
Namun, pagi ini bukanlah pagi yang elok bagi En. Ia datang dengan mata berkaca-kaca, aku tahu ia sedih pagi ini.
”En ada apa?” tanyaku, setelah ia duduk di sampingku. Tapi lagi-lagi ia menarikku keluar kelas tiba-tiba, sama seperti dua tahun silam. Kali ini bukan ke Ruang OSIS, melainkan ke Toilet guru. Kembali ia memecahkan tangisnya sebelum ia berbicara atau sekedar curhat. Aku hanya diam, menunggunya cerita dan melihat derasnya air mata yang mengalir melewati pipinya.
”El, aku gak suka kamu berteman dengan Dia. Kamu lebig punya banyak waktu dengannya daripada denganku. Aku kecewa.” Ternyata ia sedang marah, tapi ia memelukku.
En, memang seorang yang egois. Tapi dari sifat itulah ia menunjukkan bahwa ia benar-benar tak pernah ingin kehilanganku. Awalnya aku memang menganggap ini lucu. Namun tiba-tiba aku ikut meneteskan air mata. Sejauh ini, hanya dia yang egois merebutku seperti itu. Hahaha Dasar ! Aku menangis terharu. Aku baru sadar, bahwa aku melewatkan waktu tanpanya.
”Maafkan aku”.En tersenyum melihatku. Sejenak kami berpelukan sebelum akhirnya kembali ke kelas dalam keadaan mata sembab.
Kami berdua memang sangat terkenal dengan ’sepasang sahabat’ cengeng. Setiap hal berakhir dengan tangisan. Sampai-sampai Bu guru mengatakan bahwa ini adalah hal terkonyol, tapi emang bener sich !
***
Suatu hari En pernah bertanya padaku.
”El, mengapa sampai di tahun ke-3 ini kamu masih sebangku denganku?” Pertanyaannya memang sangat biasa, tapi terasa begitu dekat denganku. Aku mmenjawabnya dengan senyum, ”Pertama, tak ada yang mau sebangku denganmu. Kedua, kamu hanya mau sebangku denganku. Hahaha...”
”Hahaha...benar. Kamu benar El. Hahaha...”