Welcome Myspace Comments

Dengan ini kuciptakan sebuah persembahan... Semoga kalian suka... Cintai Budaya Membaca

Selasa, 27 Desember 2011

Kalung Mutiara Violet





Handmade kalung mutiara ungu

Sebuah untai tunggal berwarna ungu mutiara violet beras dengan banyak kilau.

Ini mutiara indah sedikit lebih besar dari rata-rata. Warna violet, yang cukup mendalam yang sangat terang untuk ungu-merah.

Kalung adalah 17 1 / 2 inci panjang.

Mutiara melambangkan kepolosan dan hati yang murni. Mereka merangsang feminitas, penerimaan diri dan integritas, dan membantu mengembangkan kebijaksanaan.

Sabtu, 26 November 2011

Laki-laki dan Wanita



Laki-laki : Mengapa ada banyak hal yang terasa aneh dengan makhluk bernama wanita? Mengapa ia bisa dan mudah menangis? Sementara laki-laki susah untuk melakukannya? Mengapa ia bisa membuat laki-laki tersenyum sebahagia itu? Mengapa ia bisa pula membuat terluka yang amat sangat? Apa yang membedakannya dengan kaum laki-laki?

Wanita : Seringkali heran dengan makhluk yang namanya laki-laki, mengapa ia mudah sekali masuk ke otak wanita, baik karena cinta, atau karena benci? Mengapa ia nampak misterius dan aneh? Ia juga kadang terasa begitu dekat, tetapi kadang juga terasa begitu jauh? Apa yang membedakannya dengan wanita?

Satu-satunya hal yang membuat bahagia dan sedih bagi laki-laki adalah wanita.
"Setelah meninggalkan dunia, aku tidak meninggalkan fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada masalah wanita." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan sebaliknya, satu-satunya hal yang membuat bahagia dan sedih bagi wanita adalah laki-laki.

Wanita, adalah makhluk aneh bagi laki-laki.
Laki-laki, adalah makhluk aneh bagi wanita.

Laki-laki kadang berfikir, apa mau wanita sebenarnya? Mengapa ia aneh sekali? Begitu pula wanita saat memikirkan laki-laki, apa yang dimau laki-laki sebenarnya? Mengapa ada makhluk aneh seperti itu.
Keduanya terasa aneh satu sama lain. Tetapi apapun bentuk keanehan tersebut tak bisa dan tak mungkin untuk dikomunikasikan. Karena memang begitulah adanya, begitulah kodratnya. Wanita memandang laki-laki seperti itu, sangat kontra dengan spesiesnya, begitu pula sebaliknya.
Demikianlah baru dinamakan lengkap. Dalam kelengkapan pasti ada perbedaan, bukan keseragaman. Benar begitu ?

Bahagia dan Menderita



Entah apa yang dipikirkan orang-orang tentang kebahagiaan dan penderitaan. Mungkin aku juga bagiannya. Kita bisa menilai bahagia bila kita terlepas dari kata menderita. Sebaliknya, kita menderita bila tidak menjangkau apa itu bahagia.
Yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak bisa dipandang secara obyektif. Ada yang kebahagiaannya diwakili oleh harta, kedudukan, jabatan, dsb. Ada yang diwakili oleh kehadiran keluarga saja. Kadarnya pun tak bisa diukur dengan grafik-grafik statistika. Ini semua terkait dengan kepuasan seseorang tentang apa yang diinginkannya.

Di dalam buku pula pernah dituliskan, bahwa bahagia itu ada pada jiwa yang bersyukur. Saya setuju yang terakhir ini. Sekecil apapun kenikmatan, bisa kita nilai kebahagiaan bila kita bersyukur. Sebaliknya, sebesar apapun kenikmatan, jika tak ada rasa syukur, maka kenikmatan tersebut akan terus terasa kurang dan mengakibatkan tidak bahagia. Begitulah TEORI-nya.

Sedangkan menderita atau penderitaan, sama saja. Tidak bisa diukur secara obyektif. Orang dengan mudah mengatakan, “aku menderita”. Tapi seberapa menderitakan kita dibanding orang yang paling menderita. Misal kita mengeluhkan terus-terusan tentang tugas kuliah atau apapun tentang perkuliahan, pikirkanlah orang yang tak bisa kuliah dan ingin sekali kuliah. Bukankah ia sangat beruntung dari pada kita yang hanya bisa mengeluh untuk kuliah. Ia bisa belajar, dan kita mengeluh.

Pikirkanlah, bahwa bukan kita yang paling menderita, ada orang lain yang lebih menderita daripada kita. Kita pasti akan melihat betapa kita masih diberi kenikmatan untuk bersyukur dan merasakan kebahagiaan.

Buta


Mari berkaca, apa kita lihat noda di wajah kita ?
Sedikit atau bahkan setitik saja.
Tidak?
Kemudian, mari kita coba lihat wajah orang lain
Apakah kau melihat noda?
Sedikit atau bahkan setitik saja.
Banyak? Iyakah?
Barangkali kamu salah
Coba lihatlah sekali lagi
Lihat, siapa dirimu?
Siapa kita?
Siapa kita yang mudahnya melihat noda di wajah orang lain?
Siapa kita, yang sederhanya mengatakan “buruk sekali rupamu!”
Coba lihatlah dirimu sendiri,
Lihatlah berkali-kali, lihat dengan seksama !
Tetap tidak nampak?
Ya Tuhan ! Kamu ternyata buta
Buta hati

Sering sekali kita mengatakan orang lain sesuai dengan kacamata kita sendiri. Padahal kacamata kita itu hitam, gelap, tak bisa melihat apapun keluar. Apalagi untuk melihat diri kita sendiri.
Seburuk apapun orang lain, nilai itu tak akan pernah keluar bila kita yang memandangnya. SEHARUSNYA seperti itu. Yang berhak memandangnya demikian hanyalah ALLAH. Ia melihat ketaqwaan seseorang, Ia melihat iman seseorang dan bukan jabatan, derajat, dan apalah itu. Tetapi kita? Apa hak kita menilai? Apa daya kita? Toh kita juga manusia. Tak punya kuasa, tak punya daya, tak punya pula standar kesempurnaan.
Jika standar ALLAH kepada manusia adalah ketaqwaan, saya pribadi ragu, bila hanya ketaqwaan yang distandarkan manusia sebagai kesempurnaan. Itu KEWAJARAN. Ketaqwaan itu sendiri tidak bisa dinilai oleh kita, hanya ALLAH yang bisa. Sudahlah, kita jangan berusaha menilai negatif orang lain, sekeras apapun usaha kita, hal itu mustahil untuk valid.

Ketulusan


Ketulusan seringkali diidentikkan dengan memberi, mengasihi, atau bahasa kerennya menyayangi. Oyeah, itukan cuma bahasanya. Memberi, mengasihi, atau menyayangi, berarti melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu yang tulus. Yang tulus, atau dianggap tulus? Ah terserahlah apa itu namanya.

Tulus, katanya adalah ikhlas. Katanya. Ku rasa tidak. Aku benci dengan teoritis seperti itu. Aku butuh realitas. Jika tulus itu tak bisa direalitaskan, itu sebuah kewajaran. Wajar, dan tak sedikitpun aku akan memaksa untuk melakukannya. Setidaknya itu lebih baik, daripada muncul jurus teori bayangan. Tulisan ini ditujukan kepada semua orang, kepadamu, kepadanya, kepada mereka, dan terutama pula kepadaku. Bahwa ketulusan secara tulus itu jangan diucapkan, melainkan dilakukan. Karena orang yang tulus tidak pernah mengatakan “Aku tulus”. Orang yang benar-benar tulus tidak akan pernah mengatakan “Aku ikhlas”. Jika kita ingin tulus, lakukanlah, atau jika kita ingin ikhlas, lakukanlah, just do it. Tidak gampang? Memang, tapi itu lebih baik, daripada mengeluarkan jurus teori bayangan.

Setiap orang, tak dipungkiri tentu saja ingin dibilang baik, ingin dinilai mulia. Lalu apakah kita yakin kalau jurus teori bayangan itu keluar, kita benar-benar bisa dinilai mulia? Saya pribadi tidak setuju dengan hal tersebut. Karena melakukan lebih baik daripada teori (dalam hal ini maksudnya). Maka dari itu just do it-lah.

Saya bukan orang yang anti dengan kenegatifan, apalagi sang aktivis kepositifan. Tidak. Secara tidak sadar, barangkali saya juga pernah mengatakan atau megalamai teori bayangan tersebut, maka dari itu, kita belajar bersama, menyadari, dan introspeksi diri. Benar tidak? Jika realitas dan kenyataan diri memang demikian? Hahaha...semoga ini bukan subyektif dari diriku sendiri.
Ketulusan sempurna, takkan pernah ada. Kecuali dariNya. Untuk belajar menjadi tulus, JUST DO IT.

Sabtu, 14 Mei 2011

Aku Tahu Engkau Peduli


Ya Rabb, pegangi aku di tengah ketidakberdayaan ini.
Aku ingin menjadi sabar layaknya orang yang Kau cintai karena kesabarannya.
Ketika perjalanan hidup adalah pilihan, maka bantu aku untuk memilihnya.
Aku tidak dapat berjalan tanpaMu, aku pincang.
Segala kemunafikan dunia mengkhawatirkan bagiku.
Jadikan kesedihan sebagai peringatan, jadikan musibah sebagai hikmah.
Biarkan hidayah kebahagiaan mengalir pelan, menutup sedikit lubang karena sakit.
Aku tau Engkau peduli, tidak pernah hilang dari cinta yang suci.

Sabtu, 30 April 2011

Yang Biasa Menjadi Luar Biasa


Angin dari mana? Hujan dari mana? Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba berhasrat buat baca buku. Apalagi buku pinjaman? Huhuy mau dong (Miss. Ngirit). Berawal dari tawaran seorang teman, tiga ekor buku pun berada di tanganku. Siap melahab? Siap dahh… (sok semangat banget)
Pilihan pertama pun jatuh pada judul La Tahzan For Broken Hearted Muslimah. Penulis Asma Nadia dkk. Asma Nadia? Siapa dia? Penulis dadakan? Memangnya ia sehebat apa, sehingaa namanya bisa nongol paling depan? dan mungkinkah cover buku ini adalah dirinya?
Demikianlah pertama kali aku berfikir tentang Asma Nadia. Dia bukan penulis, dia belum banyak berkarya, dan sama sekali tak kuketahui tentangnya. Ya, dengan sangat tinggi hati aku membuka bukunya. “Mungkin juga gitu-gitu aja, menggurui,” pikirku sambil mengingat-ingat isi buku karya orang lain yang seringkali bahasanya menggurui.
Kubuka subjudul pertama. ????? lho? Mana Asma Nadia? Kubuka-buka dan kubuka hingga subjudul terakhir (hanya membuka ). Ok mulai membaca. Aku suka. Ceritanya begitu mengalir. Suka doank? Belum cukup membuatku percaya pada Asma Nadia.
Tulisan Asma Nadia belum kutemui, belu puas rasanya. Perasaan tinggi hatiku masih saja merajai. Tapi jelas, tingkat penasaranku di atas singgasana raja tinggi hatiku. Walaach…lebay. Tak sia-sia rasa penasaran itu menguasaiku. Tak sia-sia pula aku mencoba menaklukkan rasa tinggi hatiku. Di sana kutemukan kepuasan. Kepuasan akan isi dalam buku tersebut. Isinya hidup, pembaca tak hanya diajak membayangkan dan merasakan perasaan penulis, tetapi juga terhipnotis. Cieileee…

***

Aku baru mengenal Asma Nadia. Baru mengenal dan aku mulai mempercayainya, bahwa ia telah mengalahkan ketinggian hatiku dengan karyanya, meskipun belum seratus persen percaya. Karena aku baru saja membaca satu karyanya. Aku harus memecahkan kembali ketinggian hatiku yang tentunya tidak memuncak. Itu artinya, aku semakin berusaha mengenal Asma Nadia. Keinginanku untuk mengetahui tentangnya, secara tidak sadar telah memposisikan diriku sebagai salah satu fans-nya. Hohoho… Aku baru nyadar hal ini di kemudian hari.
Mulai dari cari-cari info tentang Asma Nadia, dari Facebook maupun blog, kemudian tentang Forum Lingkar Pena (FLP), sampai berusaha mencari alamat FLP di kotaku yang hasilnya nihil
Semakin ku mencari, semakin pula aku mengenalnya. Bahwa Asma Nadia bukan penulis dadakan, bukan penulis yang hanya produktif menulis, tapi juga karyanya yang semakin berkualitas. Terbukti dengan novelnya yang telah difilmkan dengan judul Emak Ingin Naik Haji. Hal ini semakin mempercayakanku padanya, dan itu artinya, runtuhlah tinggi hatiku. Hohoho…
Yang tak boleh ketinggalan pula adalah inspirasi-inspirasinya. Hal yang paling menginspirasku dari karya-karya Asma Nadia adalah yang biasa menjadi luar biasa. Apaan tuh???
Pertama, bahasa yang digunakan.
Asma Nadia seorang yang apa adanya, begitu pula bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya. Sederhana, lugas, tidak hiperbola, tidak sok puitis, dan tidak terlalu memakai bunga-bunga kata. Menggunakan bahasa sehari-hari, sehingga begitu hidup dan dekat sekali dengan pembaca.
Kedua, ide ceritanya.
Yakni cerita-cerita yang diusung, keren. Ketika hal-hal seperti biasa yang kita temui akan tetap seperti biasa. Tetapi lewat Asma Nadia, akan menjadi luar biasa. Karena hal itu seakan tak dibuat-buat. Kembali pembaca dilibatkan di sana. Untuk kesekian kalinya, aku kaget ketika ide cerita Asma Nadia, sering kutemui di kejadian nyata sebelumnya, tetapi justru hal itu yang membutku sangat tertarik. Tidak jauh-jauh dengan kehidupan kita sehari-hari.
Ketiga, amanah yang disampaikan
Para pembaca buku diajak, bukan menggurui.
Ini terlihat dalam karya-karyanya. Dalam konteksnya, Asma Nadia bukan mengatakan harus begini, harus begitu. Tetapi mengatakan lihatlah, seperti ini, maka seperti ini. Ia membebaskan pembaca untuk meyakini atau tidak meyakininya. Tapi justru hal ini yang manjur untuk zaman gaul seperti sekarang ini. Asma Nadia membaca fenomena yang terjadi, bahwa tidak zamannya lagi untuk menggurui.
Zaman sekarang kog menggurui? Walach dicuekin dahhh pastinya.

“Mengapa harus kata jatuh yang berada di depan kata cinta”
“Mengapa harus kata mati yang berada di belakang kata cinta”
(Asma Nadia)

Sebuah kalimat yang biasa, nampak luar biasa bukan?

Pokoknya, Asma Nadia aku banget !!!
Segala sesuatunya menginspirasiku. Aku jadi percaya diri untuk menulis. Tentunya dimulai dari hal yang biasa-biasa.


Disertakan dalam lomba penulis Asma Nadia Inspirasiku

Senin, 21 Februari 2011

Keep Smile :)


Saat semua dunia terpana melihatmu
Maka, mau tak mau
Kau harus tersenyum melihat mereka
Dan...
Menyumbang sebagian kebahagiaan di dunia
Dan... tetaplah tersenyum
Karena...
Dunia menatapmu...
Keep smile :)

Warnamu

Aku bisa melihatmu
Meski tak harus kau pancarkan warnamu...
Aku telah merasa terwarnai olehmu...
Tapi,
Aku tak boleh
Melihat warna-warnamu
Yang telah mengisi
Sebagian besar hari-hariku




Dicatat di :
Ponorogo, Jumat, 18/02/2011
Pkl. 20.10 WIB
^_^ By Lacya

This is not an option

I wanted to intertwine many days with you
There are many stories that I want to be with you carve
But ...
We're in the wrong place
We are in the red lights stop
Let ...
I decided to stop everything about you
This is not an option
Everywhere is the best
But ...
It is my obligation to defend it
I wanted to with him faithful
Sorry ...

I'm afraid
I love you
I'm afraid
You were too far my desire
I'm afraid it all
But ...
All is not wrong
You just enjoy the taste
Which is pure and appeared suddenly in the recesses of your heart
And ...
All will be one
If you're trying to have my

Indeed ...
Never enough
If you only love
I have no
But ...
Once again
This is not an option
This requirement

Believe ...
Although for the moment
Impartial your world
Wait or Pick
Your new world
Rest assured,
God has the best plan for you
I want you to always smile, my brother:)

Selasa, 08 Februari 2011

Senyuman Untuk Hujan



Suara gemericik air itu membangunkanku dari lamunan. Pandanganku yang mematung kini terbelalak melihat di hadapanku. “Ah, hujan, dia datang,” teriakku menyambutnya. Aku loncat kegirangan dengan sedikit menyentuhkan ujung-ujung jariku dengan tetesan-tetesan suci sang hujan.

“Hai, kau apa-apaan? Hujan datang saja kegirangan. Biasa saja, tak perlu lebay.” Gerutu kakak tingkatku, Kak Arya. Aku baru menyadari ia berada di sana se-jam lalu bersamaku. Kami terlalu menikmati keterdiaman, sehingga kebersamaan itu tak terasa. Ia masih cemberut. Tak beda dengan se-jam lalu, bahkan sekarang lebih cemberut. Kami jengkel, empat jam harus terpaksa menunggu seseorang untuk menjemput kami berdua menuju rumahnya. Teman Kak Arya, Abu.
“Sini Kak Arya, indah.” Kataku
“Indah apanya? Masih harus tiga jam lagi kita harus menunggu Abu, lalu apa yang bisa kita lakukan bila hujan turun?” cerocosnya kesal. Berulang kali, bangku yang didudukinya ia pukul keras. Tentu itu menyakitkan. Tapi itu tak lagi terasa bila ia sedang jengkel.

Aku beranjak dari tempat dudukku, berdiri dan perlahan mendekati hujan dengan penuh senyum.Aku tak memperdulikan Kak Arya lagi. Terlalu tidak penting untuk terus mengikuti arah emosinya.

“Hei Is, mau kemana?” tanyanya kaget melihat tingkahku yang sangat berbeda dengan beberapa menit lalu saat hujan belum mengguyur.
“Sebentar Kak, Isna pengen main hujan.” Jawabku singkat dan segera meluncur berhujan ria setelah sebelumnya melepas sepatu. Kak Arya memandangiku keheranan.

“Kak Arya, sini Kak.” Teriakku melawan suara hujan. Namun, ia menggeleng tanpa sedikitpun senyuman.
“Byurrr” Hujan pun semakin deras, dan aku semakin menikmati guyurannya. Dan kulihat bocah laki-laki, anak jalanan menghampiriku. Ia juga terlihat bahagia menikmati hujan. “Kak, main yuk,” ajaknya, tanpa ada momen perkenalan. Uluran tangan mungilnya kuraih. Aku tak memperdulikan kehadirannya adalah siapa selain karena kami sama-sama menikmati hujan.
Kami berdua pun bermain-main dengan air hujan. Saling memercikkan, berteriak, bahkan kami berlari-lari memutar tanpa tujuan. Tangan kami selalu terbuka untuk merasakan air itu benar-benar membasahi tubuh. Suara-suara tawa terus menghias.

***

Sesekali, kuperhatikan Kak Arya di kejauhan. Ia nampak memperhatikan keakraban kami terhadap hujan. Wajah cemberutnya kini berubah, tapi masih juga tanpa senyum. Hanya matanya melotot keheranan melihat kami. Tangannya ia dekapkan erat, menjaga kehangatan tubuhnya. Hujan membuatnya merasa kedinginan, dan bahkan ia selalu menghindar dari beberapa tetes air hujan yang terbawa angin ke arahnya.
Aku dan bocah ini masih tertawa-tawa. Tak ada lalu lalang pejalan kaki di sana. Mungkin mereka enggan menghampiri hujan walaupun untuk sekedar menyapa hadirnya. Kuperhatikan lagi Kak Arya. Ia sudah tak lagi mendekap tangannya. Perlahan, ia sentuhkan ujung telunjuknya pada percikan air di bangku yang di dudukinya. Disentuhnya sekali lagi, lagi, dan lagi. Tapi ia masih belum puas untuk percaya pada kelembutan hujan. Sekali lagi ia menyentuh, dan kali ini ia berhasil mempercayai hujan dengan sentuhan keinginannya untuk mendekati hujan.

“Huuuu!!!” Teriaknya meluncur mendekatiku dan bocah di dekatku ini. Ia melawan rasa dingin dengan sunggingan senyum di bibirnya. Aku dan bocah ini melongo kaget melihat Kak Arya. Ia memang menikmati hujan atau berpura-pura saja? Hatiku bertanya-tanya, dank u yakin bocah ini punya pertanyaan yang sama denganku.

“Hei, kenapa melongo? Ayo, kita main lagi.” Seru Kak Arya memercikkan air ke wajahku dan wajah bocah jalanan ini. Kami yang terkejut mengalah menemukan jawaban atas pertanyaan kami untuk kemudian menuruti keinginan Kak Arya bermain air hujan.

“Hahaha.” Kami bertiga tertawa bersama dalam suasana sangat ceria. Mencoba mengalahkan suara hujan yang semakin deras mengganggu pendengaran kami. Kami bergerak bebas, indah, dan semangat. Tak ada beban pikiran dan perasaan jengkel lagi.
Perlahan, Kak Arya mendekatiku dan berkata pelan,
“Thanks Is, you have show me the rain!” ditambah dengan senyum manisnya.
“Hmm, maksudnya?” aku sama sekali tak mengerti maksud perkataannya.
“Ya. Kamu bisa menunjukkan padaku, bahwa hujan pun juga indah.” Jelasnya lagi semakin ceria dalam senyumnya.
“Ok. That’s true, now please smile for rain, it has made you happy and cheerfull.” Jawabku menatapnya. Kami berdua saling tertawa bahagia dan puas, namun bocah jalanan di sampingku ini makin melongo dengan bahasa yang kami gunakan.

“Ok Boy, let’s enjoy the rain,” ajak Kak Arya menggandeng si bocah, dan menuntunnya menikmati guyuran hujan.
Aku bergumam pelan.
“Hujan, Kau membuatku, Kak Arya, dan bocah jalanan itu bahagia. Lain kali buat orang lain bahagia, dan terakhir, buatlah semuanya bahagia karena hadirmu.”

***


Hari ini akan menjadi esok
Dan sekarang akan menjadi nanti
Semua akan berlalu
Satu inginku…
Ingatlah aku dan hari ini
Aku tak ingin,
Hujan membuat masa ini berlalu kemudian hilang
Tapi…
Ingatlah hujan untuk mengingatku
Dan kau akan menemukanku
Seperti hari ini

By : Isna



Akan selalu kuingat
Butiran air hujan yang menggenangi tubuhku
Hujan akan menemani hari-hariku
Karena hujan itu adalah kamu

By : Arya

Game Anak


Dunia internet tak hanya mewabah ke dunia remaja atau dewasa. Kalangan anak-anak pun pnyumbang dari bagian itu. Tujuan mereka macam-macam. Namun, mayoritas adalah sebagai mainan baru yang seru, praktis, murah, dan tentunya hanya bagi mereka yang berduit.

Seperti halnya warnet di daerah Kediri. Per kota computer dipenuhi oleh anak-anak bermain game online. Dari menit ke menit hingga berjam-jam silih berganti pengguna antusias datang dan pergi hanya untuk ber-game online.
Tetapi tidak untuk bocah laki-laki bersepeda itu. Aku tak tahu siapa namanya. Berkali-kali aku melihatnya melintasi warnet disertai dengan kayuhannya yang semakin kuat. Ah jangan piker sepedanya itu bagus seperti sepeda anak pada umumnya. Dia memakai sepeda tua, butu, milik orang dewasa. (Bukan untuk penghinaan, tetapi sebagai kepentingan ilustrasi)

Umurnya baru sekitar sebelas tahunan. Kulitnya pekat dan yang kulihat selalu dihiasi keringat. Ia juga selalu membawa sesuatu di boncengan sepedanya. Ya. Selalu. Mungkin itu adalah rutinitasnya.
Tatapannya mantap ke depan, sambil diperkuat kayuhannya. Tetapi tidak ketika ia melewati sebuah warnet. Ia mengalihkan tatapan lurusnya untuk sejenak memandang ke arah anak-anak yang antusias ber-game online di warnet. Namun, bukan berarti ia melemahkan kayuhan sepedanya. Ia tetap mengayuh dengan sedikit senyuman di wajahnya.

Ada kesenjangan di sana. Tak semua orang bisa menikmati dunia internet. Contohnya bocah laki-laki tadi, bermain game online terpaksa harus tergadaikan oleh aktivitas beratnya. Ini realita yang ada. Game tradisional semakin tak dijumpai. Hilangnya semangat kebersamaan dalam kesederhanaan.

Jumat, 28 Januari 2011

Hujan, Aku Mengingatnya


Kumenunduk, terlihat olehku setiap titik hujan yang perlahan merembes ke tanah. Membasahi bumi berdebu yang rindu akan guyuran sang air. Tercium aroma khas tanah basah, segar, tak terhingga

Kutengadahkan kepala. Merasakan butiran-butiran air hujan dari langit.
“Ah !” Teriakku, “Sakit !” Air-air yang jatuh ke wajahku, benar-benar ku rasakan seperti jarum menusuk wajahku. “Aduh !”
Kutundukkan kembali kepalaku. Kini, air-air hujan itu mengenai bagian atas kepalaku. Setidaknya ini tidak lebih sakit dari pada mengenai wajahku.
Hujan. Ada apa dengan hujan ?

Menurutku itu bukanlah hal yang penting untuk dibahas. Hal yang sepele bin basi. “Aku ingat dia,” dia yang sangat mencintai hujan. Entah, aku tak habis pikir, apa yang membuatnya mencintai air-air langit yang bagiku hanya terasa sakit. Benar-benar aneh, aku tak pernah berpikir sekonyol itu.
It’s ok-lah jika seseorang menyukai pelangi, mungkin karena keelokan warnanya. Atau seseorang yang menyukai senja, karena suasana dan keindahan, Itupun hanya sebatas menyukai. Tapi dia cinta hujan…???

Apa karena hujan telah menumbuhkan semua tumbuhan ?
Ataukah, karena hujan memberi kesegaran luar biasa ?
Itupun kukira hanyalah alasan basi yang bukan merupakan sebuah jawaban.
Sekali lagi, dia cinta hujan. Hhh…terserahlah, itu haknya. Tapi rasa penasaran mencekam otakku untuk berpikir, ada apa dengan hujan ?
“Hujan mengingatkanku dengan orang yang ku sayang. Apa yang dia lakukan, apa yang dia rasakan.” Itulah jawaban yang terlontar darinya, saat aku bertanya tentang keanehannya mencintai hujan.

Perlahan, butiran air turun. Kali ini bukan berasal dari langit, tapi kelopak mataku. Aku mengingatnya. Mengingat seorang yang cinta dengan hujan.
Hujan, aku mengingatnya. Apakah ini berarti aku telah menjadi seorang pecinta hujan seperti dia ? Aku bisa merasakan bahwa hujan telah mengantarkan ingatan-ingatanku kepada orang yang ku sayang ?
Aku tak mau. Aku bukan pecinta hujan, dan aku tak kan pernah mencintai hujan untuk mengingat dia. Aku bukan pecinta hujan. Tapi hujan bukanlah sesuatu yang bisa kubenci. Hujan bukanlah sesuatu yang bisa kuusir. Dia datang dimanapun dan kapanpun. Aku tak bisa menyalahkan kehadirannya. Itu berarti, aku juga akan tetap teringat tentangnya ?

Air mataku mengalir bersama derasnya hujan. Karena tak seharusnya aku mencintai hujan, agar aku melupakan semuanya.
Kutengadahkan kembali kepalaku. Menahan rasa sakit di wajahku. “Tik…tik…” Hujan masih menyentuh keras wajahku. Rasanya memang sakit, tapi hebat, tak ada lagi air mata yang keluar dari mataku. “Aduh,” teriakku.
“Hahaha…!”
“Aku cinta hujan !”


Terbit by Kampus-Kita edisi Desember 2010

Kamis, 06 Januari 2011

Ketika Dunia Menuntut Perubahan


Tuntutan, berarti sesuatu yang dipakssa, keharusan, kepastian, dan lain sebagainya. Ketika sebuah tuntutan tak dapat dipenuhi, maka akan terjadi hambatan ataupun pihak yang merugi. Misalnya terjadi pada seorang pengamen, tanpa uang dari hasil mengamen, ia tak bisa makan atau minum. Sementara, kebutuhan untuk makan dan minum adalah keharusan yang wajib dipenuhi.

Tuntutan hidup kadang memang sangat kejam bagi sebagian orang. Tanpa pemenuhan-pemenuhan tuntutan tersbut, bisa saja ia mati alias tak bisa bertahan hidup. Ini merupakan realitass kehidupan yang sudah tak mungkin dipisahkan.

“Terjadinya kemiskinan, karena ada kebodohan.” Demikian teori yang selama ini cukup mendominasi pemikiran banyak orang. Kemudian muncullah pertanyaan, “Lalu, bagaiman bisa pintar ? Sementara untuk bisa pintar, membutuhkan uang ?”
“Uang tak semua orang punya, maka otomastis akan masuk ke ‘dunia orang bodoh’.” Silih berganti pertanyaan tetap saja berpijak pada teori tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh orang-orang dengan kemauan yang besar terhadap masa depan cemerlang. “Tak aka bodoh, meski tanpa uang.” Apa bisa ??? Imposible Nothing, tak ada yang tak mungkin.

Teori tersebut sekaligus menjawab tuntutan-tuntutan dunia. Dunia hadir dengan segala kemewahan dan kemahalannya, yang tak bisa didapat dengan Cuma-Cuma. Maka, kita harus menju menghadapinya, karena itu adalah sebuah tuntutan.

Kita harus sanggup menjawab semua persoalan dunia. Ketika sang dunia ‘menjual dirinya’ dengan sangat mahal, kita pun musti bisa untuk membelinya. Apalagi selain dengan ilmu? Ya. Perubahan hanya akan kita capai melalui ilmu, dan ilmu akan ada karena kemauan kuat. Maka, ketika dunia menuntut perubahan, jawabannya adalah kemauan kuat dalam menuntut ilmu.


Kawan, ingatlah, dunia menuntutmu !
Maka berubahlah untuk duniamu.
Berubahlah demi kehidupan yang lebih baik.
Suatu keniscayaan jika kau akan memiliki dunia yang istimewa.

Salam semangat ! ^_^

Selasa, 04 Januari 2011

Ada Sejuta Alasan Untuk Tetap Tersenyum


Adakah manusia normal yang tak pernah mempunyai masalah ? Jawabannya pasti tidak ada. Berarti, adanya masalah adalah cirri-ciri dari seorang yang normal. Maka, tak perlu takut terhadap ‘masalah’. Namun, bagaimanapun juga, masing-masing orang berbeda pikiran, berbeda pula untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Ada yang bertahan di dalam dadanya sendiri, ada yang dicurhatkan ke orang lain. Ada yang beralih ke minum-minuman keras atau bahkam ke dunia kriminalitas. Semuanya memiliki alasan kuat dalam menggunakan cara-cara tersebut.

Pelampiasan dan mencari senyuman (baca : cari kebahagiaan) sangatlah berbeda. Yang satunya bersifat negatif dan yang satunya bersifat positif. Tapi keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama mencari kenyamanan hati. Kenyamanan hati dengan melupakan ataupun dengan mengatasi masalah itu sendiri. Kesedihan berlarut akan menjadi buah dari ketidaknyamanan hati. Jangankan mengatasai masalah, untuk melupakan saja tidak bisa.

Jika kita tak menemui senyuman, maka cari. Cari senyuman itu. Mungkin di antara sahabat kita, atau dikeceriaan adik-adik kita, juga mungkin terselip di antara kebersamaan keluarga. Bandingkan masalah yang kita hadapi dengan masalah orang yang lebih parah dari kita.

Ketika kita berhadapan dengan uang yang menipis, bersyukurlah, setidaknya kita lebih baik dari orang yang berjuang mati-matian hanya untuk makan.
Ketika kita bermasalah dengan kedua orang tua, pikirkanlah dengan orang yang sudah tak mempunyai orang tua.
Ketika kita bermasalah karena diputuskan pacar, maka lihatlah orang yang sudah cukup umur tetapi belum bisa menikah karena belum berjodoh.
Ketika kita hamper putus asa karena kaki atau tangan kita yang harus diamputasi, maka lihatlah orang yang telah mendapat vonis kematiannya.



“Hadapi dengan senyuman, semua yang terjadi biar terjadi. Hadapi dengan tenang jiwa, semua akan baik-baik saja.” Demikian Once melantunkan syairnya.
Masih begitu banyak alasan untuk kita tetap tersenyum. Maka tersenyumlah kawan !!!


Salam semangat ! ^_^