Welcome Myspace Comments

Dengan ini kuciptakan sebuah persembahan... Semoga kalian suka... Cintai Budaya Membaca

Sabtu, 26 November 2011

Laki-laki dan Wanita



Laki-laki : Mengapa ada banyak hal yang terasa aneh dengan makhluk bernama wanita? Mengapa ia bisa dan mudah menangis? Sementara laki-laki susah untuk melakukannya? Mengapa ia bisa membuat laki-laki tersenyum sebahagia itu? Mengapa ia bisa pula membuat terluka yang amat sangat? Apa yang membedakannya dengan kaum laki-laki?

Wanita : Seringkali heran dengan makhluk yang namanya laki-laki, mengapa ia mudah sekali masuk ke otak wanita, baik karena cinta, atau karena benci? Mengapa ia nampak misterius dan aneh? Ia juga kadang terasa begitu dekat, tetapi kadang juga terasa begitu jauh? Apa yang membedakannya dengan wanita?

Satu-satunya hal yang membuat bahagia dan sedih bagi laki-laki adalah wanita.
"Setelah meninggalkan dunia, aku tidak meninggalkan fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada masalah wanita." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan sebaliknya, satu-satunya hal yang membuat bahagia dan sedih bagi wanita adalah laki-laki.

Wanita, adalah makhluk aneh bagi laki-laki.
Laki-laki, adalah makhluk aneh bagi wanita.

Laki-laki kadang berfikir, apa mau wanita sebenarnya? Mengapa ia aneh sekali? Begitu pula wanita saat memikirkan laki-laki, apa yang dimau laki-laki sebenarnya? Mengapa ada makhluk aneh seperti itu.
Keduanya terasa aneh satu sama lain. Tetapi apapun bentuk keanehan tersebut tak bisa dan tak mungkin untuk dikomunikasikan. Karena memang begitulah adanya, begitulah kodratnya. Wanita memandang laki-laki seperti itu, sangat kontra dengan spesiesnya, begitu pula sebaliknya.
Demikianlah baru dinamakan lengkap. Dalam kelengkapan pasti ada perbedaan, bukan keseragaman. Benar begitu ?

Bahagia dan Menderita



Entah apa yang dipikirkan orang-orang tentang kebahagiaan dan penderitaan. Mungkin aku juga bagiannya. Kita bisa menilai bahagia bila kita terlepas dari kata menderita. Sebaliknya, kita menderita bila tidak menjangkau apa itu bahagia.
Yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak bisa dipandang secara obyektif. Ada yang kebahagiaannya diwakili oleh harta, kedudukan, jabatan, dsb. Ada yang diwakili oleh kehadiran keluarga saja. Kadarnya pun tak bisa diukur dengan grafik-grafik statistika. Ini semua terkait dengan kepuasan seseorang tentang apa yang diinginkannya.

Di dalam buku pula pernah dituliskan, bahwa bahagia itu ada pada jiwa yang bersyukur. Saya setuju yang terakhir ini. Sekecil apapun kenikmatan, bisa kita nilai kebahagiaan bila kita bersyukur. Sebaliknya, sebesar apapun kenikmatan, jika tak ada rasa syukur, maka kenikmatan tersebut akan terus terasa kurang dan mengakibatkan tidak bahagia. Begitulah TEORI-nya.

Sedangkan menderita atau penderitaan, sama saja. Tidak bisa diukur secara obyektif. Orang dengan mudah mengatakan, “aku menderita”. Tapi seberapa menderitakan kita dibanding orang yang paling menderita. Misal kita mengeluhkan terus-terusan tentang tugas kuliah atau apapun tentang perkuliahan, pikirkanlah orang yang tak bisa kuliah dan ingin sekali kuliah. Bukankah ia sangat beruntung dari pada kita yang hanya bisa mengeluh untuk kuliah. Ia bisa belajar, dan kita mengeluh.

Pikirkanlah, bahwa bukan kita yang paling menderita, ada orang lain yang lebih menderita daripada kita. Kita pasti akan melihat betapa kita masih diberi kenikmatan untuk bersyukur dan merasakan kebahagiaan.

Buta


Mari berkaca, apa kita lihat noda di wajah kita ?
Sedikit atau bahkan setitik saja.
Tidak?
Kemudian, mari kita coba lihat wajah orang lain
Apakah kau melihat noda?
Sedikit atau bahkan setitik saja.
Banyak? Iyakah?
Barangkali kamu salah
Coba lihatlah sekali lagi
Lihat, siapa dirimu?
Siapa kita?
Siapa kita yang mudahnya melihat noda di wajah orang lain?
Siapa kita, yang sederhanya mengatakan “buruk sekali rupamu!”
Coba lihatlah dirimu sendiri,
Lihatlah berkali-kali, lihat dengan seksama !
Tetap tidak nampak?
Ya Tuhan ! Kamu ternyata buta
Buta hati

Sering sekali kita mengatakan orang lain sesuai dengan kacamata kita sendiri. Padahal kacamata kita itu hitam, gelap, tak bisa melihat apapun keluar. Apalagi untuk melihat diri kita sendiri.
Seburuk apapun orang lain, nilai itu tak akan pernah keluar bila kita yang memandangnya. SEHARUSNYA seperti itu. Yang berhak memandangnya demikian hanyalah ALLAH. Ia melihat ketaqwaan seseorang, Ia melihat iman seseorang dan bukan jabatan, derajat, dan apalah itu. Tetapi kita? Apa hak kita menilai? Apa daya kita? Toh kita juga manusia. Tak punya kuasa, tak punya daya, tak punya pula standar kesempurnaan.
Jika standar ALLAH kepada manusia adalah ketaqwaan, saya pribadi ragu, bila hanya ketaqwaan yang distandarkan manusia sebagai kesempurnaan. Itu KEWAJARAN. Ketaqwaan itu sendiri tidak bisa dinilai oleh kita, hanya ALLAH yang bisa. Sudahlah, kita jangan berusaha menilai negatif orang lain, sekeras apapun usaha kita, hal itu mustahil untuk valid.

Ketulusan


Ketulusan seringkali diidentikkan dengan memberi, mengasihi, atau bahasa kerennya menyayangi. Oyeah, itukan cuma bahasanya. Memberi, mengasihi, atau menyayangi, berarti melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu yang tulus. Yang tulus, atau dianggap tulus? Ah terserahlah apa itu namanya.

Tulus, katanya adalah ikhlas. Katanya. Ku rasa tidak. Aku benci dengan teoritis seperti itu. Aku butuh realitas. Jika tulus itu tak bisa direalitaskan, itu sebuah kewajaran. Wajar, dan tak sedikitpun aku akan memaksa untuk melakukannya. Setidaknya itu lebih baik, daripada muncul jurus teori bayangan. Tulisan ini ditujukan kepada semua orang, kepadamu, kepadanya, kepada mereka, dan terutama pula kepadaku. Bahwa ketulusan secara tulus itu jangan diucapkan, melainkan dilakukan. Karena orang yang tulus tidak pernah mengatakan “Aku tulus”. Orang yang benar-benar tulus tidak akan pernah mengatakan “Aku ikhlas”. Jika kita ingin tulus, lakukanlah, atau jika kita ingin ikhlas, lakukanlah, just do it. Tidak gampang? Memang, tapi itu lebih baik, daripada mengeluarkan jurus teori bayangan.

Setiap orang, tak dipungkiri tentu saja ingin dibilang baik, ingin dinilai mulia. Lalu apakah kita yakin kalau jurus teori bayangan itu keluar, kita benar-benar bisa dinilai mulia? Saya pribadi tidak setuju dengan hal tersebut. Karena melakukan lebih baik daripada teori (dalam hal ini maksudnya). Maka dari itu just do it-lah.

Saya bukan orang yang anti dengan kenegatifan, apalagi sang aktivis kepositifan. Tidak. Secara tidak sadar, barangkali saya juga pernah mengatakan atau megalamai teori bayangan tersebut, maka dari itu, kita belajar bersama, menyadari, dan introspeksi diri. Benar tidak? Jika realitas dan kenyataan diri memang demikian? Hahaha...semoga ini bukan subyektif dari diriku sendiri.
Ketulusan sempurna, takkan pernah ada. Kecuali dariNya. Untuk belajar menjadi tulus, JUST DO IT.